Jumat, 09 Agustus 2013

MERDEKA.COM. Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Aan Rusdianto, mencalonkan diri sebagai anggota DPR lewat Partai Gerindra di Pemilu 2014. Dia maju di Daerah Pemilihan Jawa Tengah IX dengan nomor urut 2.
Sejumlah kritik pun dilontarkan kepadanya. Sebab, sebagai korban, Aan dinilai seharusnya tidak nyaleg lewat partai besutan Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus yang dicopot dari dinas kemiliteran karena terlibat kasus penculikan aktivis pada 1998.
Sebelas anggota Tim Mawar, sebutan anggota Kopassus yang menculik, sudah diadili dalam kasus itu. Sementara Mahkamah Militer tidak pernah menyentuh Prabowo.
Aan tidak sendiri. Sebelumnya sudah ada mantan aktivis korban penculikan yang bergabung ke Gerindra. Sebut saja Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang dan Desmond J Mahesa. Aan belum bisa dikonfirmasi soal pencalegannya. Saat dihubungi, ponselnya tidak aktif.
Berikut kesaksian Aan Rusdianto yang dimuat Info Pembebasan 'Koran Suara Gerakan Rakyat Miskin', media PRD, pada 8 Juni 1998. 
'KESAKSIANKU'
Perkenalkan, namaku Aan Rusdianto, umur 24 tahun, laki-laki. Tentang kronologi penculikan dan penahanan sebagian sudah ditulis oleh sohib saya Nezar Patria. Jadi kesaksian saya berikut sebagai pelengkap. Karena aku dan Nezar "diambil" bareng, menyusul Mugiyanto. Mungkin ada beberapa hal yang yang belum ditulis oleh Nezar, yakni soal data-data tambahan identifikasi pelaku penculikan dan pengalaman pribadiku selama 2 hari di tempat X. Pada hari Jumat malam, tanggal 13 Maret 1998 aku dan Nezar dibawa ke sebuah tempat. Sesampainya di tempat setelah diturunkan dari mobil tangan kami yang diborgol jadi satu dipisah. Kemudian aku didudukkan di kursi lipat kedua tangan diborgol ke kursi. Langsung kami disambut pertanyaan tentang siapa aku, apa aktivitas selama ini, dan di mana Andi Arif, seiring dengan pukulan tangan, tendangan, dan setruman ke sekujur tubuhku bila mulutku menjawab tidak tahu. Yang bisa kujawab: "Aan Rusdianto, selama ini di Semarang, sebagai anggota SMID, saya tidak tahu di mana Andi Arif berada."
Dua hari dua malam itu adalah waktu penuh ketegangan dan siksaan. Dalam benak selalu muncul apa yang selanjutnya akan terjadi. Malam pertama, tiga puluh menit setelah didudukkan di kursi, kami (aku dan Nezar) ditidurkan di tempat tidur lipat Kedua kaki dan tangan diikat dengan borgol dan tali rafiah. Kami dimasukkan ke sebuah ruangan besar semacam aula.
Kembali pertanyaan diulang. Di mana Andi Arif, apa aktivitas politik selama ini, data pribadi dan keluarga. Setrum, pukulan, todongan senjata laras panjang, memaksaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Nezar, aku, dan Mugiyanto (datang 2 jam setelah aku dan Nezar) tidak kuasa menjawab pertanyaan mereka. Apa aktivitas politik PRD setelah 27 Juli, apa keterlibatanku di PRD. Bahkan kemaluanku sempat disetrum beberapa kali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Hari kedua siksaan tidak seberat hari pertama. Ikatan tinggal di satu tangan. Bila mau kencing dan berak minta izin, kemudian diantar 2 orang. Dalam suasana hening ruangan ber AC itu--setelah masa teriakan dan erangan kami bersaut-sautan--pikiran dan benak hatiku justru berkecamuk hebat: Apa yang kemudian akan aku alami. Apalagi teringat nama Pius dan Desmon yang belum kembali. Bila pagi dan sore terdengar ada sekelompok orang di luar ruangan berlari-lari dalam derap-derap sepatu serentak, diiringi nyanyian-nyanyian lantang dan tegas, kadang bersahut-sahutan. Kadang pula terdengar suara pesawat terbang rendah entah berapa kaki. Sempat pula kami bertiga dijejer dan ruangan dibersihkan dan dirapikan. Aku menduga akan datang seorang petinggi mereka. Aku nggak tahu petinggi itu datang apa nggak. Kemudian kami diskusi dengan mereka tentang Timor-Timur, Aceh, dan situasi politik yang berkembang. Kesan yang kutangkap mereka menguasai soal-Timor-Timur dan Aceh. Soal situasi politik Indonesia kita berdiskusi tentang krisis ekonomi dan usaha-usaha penanggulangan krisis ekonomi yang sedang dilakukan pemerintah.
Kemudian, hari Minggu pagi kami dibawa ke sebuah tempat dengan dipisah. Jadi ada tiga mobil. Yang sempat kulihat, mobil di depanku yang membawa Nezar/Mugi adalah jenis Kijang warna abu-abu dengan nomor polisi B 1907 YH. Di tempat kedua itu diinterogasi tertulis, mata terbuka, di sebuah ruangan ukuran dua kali tiga meter. Di pintu tertulis Pabung Marinir. Saat Ke WC saya sempat melihat dua orang petugas piket bercelana hijau, berkaos hijau dengan gambar di belakang kaos: kepala Gajahmada. Di tempat ini dan kemudian di Polda Metro Jaya aku tidak ada penyiksaan. Setelah 3 jam dari tempat tersebut kami dibawa ke Polda dan langsung diintrogasi.

Jakarta, 8 Juni 1998
Sumber:
PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK (PRD)
PEOPLE'S DEMOCRATIC PARTY, INDONESIA
Europe Office
E-mail : prdeuro@xs4all.nl
Date: Tue, 16 Jun 1998 00:40:44 +0200
Sumber: Merdeka.com

Ditulis Oleh : Berita14 // 11.47
Kategori:

0 comments: