Oleh: Prof Dr Dra MG Endang Sumiarni SH, Mhum*
Jakarta (22/04/2013)- Kurun sebelum ‘kemerdekaan’ Indonesia (sebelum 17 Agustus 1945) belum ada Negara Kesatuan Republik Indonesia -- kawasan itu lazim disebut wilayah Nusantara. Batas-batas wilayah Nusantara itu tidak sama dengan batas-batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bicara perihal wilayah Nusantara, ingatan kita harus kembali ke jaman kerajaan, kasultanan, kasunanan, yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Dari kondisi itulah sebenarnya terdapat berbagai etnis atau suku bangsa yang mempunyai keanekaragaman. Tentu saja, keanekaragaman budaya. Bicara budaya, tak dapat lepas dari mengenal unsur-unsur kebudayaan, yakni: sistem mata pencaharian, ilmu pengetahuan dan sistem teknologi, sistem komunikasi, organisasi sosial, kesenian, sistem kepercayaan (agama atau sejenisnya), pendididikan, kesehatan, tata boga dan tata busana.
Masing-masing etnis mempunyai sumber kesusilaan. Terdiri dari sumber kesusilaan perseorangan dan sumber kesusilaan umum. Sumber kesusilaan perseorangan berupa cara-cara (bentuk) perbuatan. Suatu bentuk perbuatan yang dilakukan tiap individu, dapat menjadi kebiasaan yang merupakan dasar dari kesusilaan umum. Kebiasaan berkembang lebih lanjut menjadi tata kelakuan, lalu menjadi adat istiadat dan bahkan menjadi hukum adat. Kesusilaan perseorangan yang menjadi kesusilaan umum, kemudian ‘dilembagakan’: untuk diketahui, dimengerti, ditaati, dihargai yang kemudian terinternalisasi semakin kuat menjadi lembaga sosial. Dengan penjiwaan dan internalisasi yang makin kuat, menjadi membudaya.
Sumber kesusilaan yang terinternalisasi sehingga membudaya tersebut, berasal dari peraturan yang dikeluarkan raja-raja, sultan-sultan di seluruh Nusantara. Ada juga yang berasal dari kitab-kitab kuno. Ada pula yang berasal dari kehidupan masyarakat (rakyat) juga. Sumber dari rakyat ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis.
Sumber kesusilaan selalu mengandung nilai atau gagasan yang paling ideal, yaitu segala yang didambakan sebagai yang paling ideal yang melekat pada objek, gagasan, dan pengalaman manusia dalam bercipta, berasa dan berkarya. Nilai yang ada pada setiap suku bangsa, menyangkut masalah dasar. Yaitu tentang hakikat hidup, hakikat karya, persepsi waktu, pandangan terhadap alam, dan hubungan dengan sesama.
Dari situlah kemudian muncul sebuah corak yang dalam istilah “religiomagis” erat dengan pandangan hidup yang mengandung perpaduan alam bepikir “bangsa Indonesia”. Bahkan religiomagis ini diartikan manusia sebagai participerend cosmisch (manusia bagian dari alam semesta) wajib mengusahakan keseimbangan atau keselarasan atau keserasian antara makro kosmis dan mikro kosmis. Masyarakat di setiap suku bangsa sudah mempunyai kepercayaan terhadap Sang Hyang Adhi Inderawi – yakni sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia atau didengar oleh telinga manusia (kecuali orang terpilih), yg menggerakkan segala kekuatan di luar kemampuan manusia, misal: kematian, kelahiran, bencana alam. Setiap etnis mempunyai sebutan terhadap Sang Hyang Adhi Inderawi dengan istilah berbeda-beda sesuai bahasa setempat. Penyebutannya berbeda tetapi mempunyai kesamaan percaya pada Sang Hyang Inderawi tersebut setelah ‘kemerdekaan’ dan berdiri Republik Indonesia dirumuskan dalam sila: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain corak religiomagis, suku banga di wilayah Nusantara, juga mengenal corak commune trek, atau communal, yakni kebersamaan. Ini bukti manusia merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang kuat dalam segala aktivitas (kegiatan) manusia. Kepentingan individu selalu diimbangi dengan kepentingan umum. Hak-hak individu diimbangi hak-hak umum. Corak religiomagis ini melahirkan sila: Persatuan Indonesia.
Selain religiomagis dan commune trek, juga terdapat corak tunai (kontan) artinya penataan pikiran serba konkret dengan perbuatan nyata, atau perbuatan simbolis atau dengan suatu pengucapan, maka suatu tindakan yang dimaksud selesai seketika itu juga. Artinya, masyarakat telah terbaisa dengan adanya komitmen dan dapat dipercaya. Contoh: jaman ‘dulu kala’ jual-beli padi di sawah seluas dua hektar, tidak memerlukan dokumen bahkan tidak perlu saksi seperti sekarang. Antara penjual dan pembeli cukup berkomitmen dan saling percaya. Inilah yang harus dipahami bahwa aspek kejujuran dari kebiasaan kesusilaan perorangan yang kemudian menjadi kesusilaan umum sehingga setiap ucapan orang dapat dipercaya karena setiap orang mempunyai komitmen tinggi pada apa yang diucapkan. Corak tersebut, melahirkan sila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan demikian dasar dari nilai-nilai Pancasila tersebut, merupakan kecerdasan atau kebijaksanaan setempat yang dapat diketahui atau ditemukan di balik aktivitas manusia. Misal, sikap membungkukkan badan jika hendak menghormati orang lain, posisi tangan saat mempersilahkan orang lain, cara duduk, dan lain-lain – semua mencerminkan kebijakan atas kecerdikan lokal. Setiap suku memiliki aktivitas atau simbol-simbol atau lambang-lambang yang memiliki makna. Hal itu dapat digali dari dongeng, cerita rakyat, pepatah, nyanyian daerah, semboyan, mitos-mitos yang ada.
Satu contoh model pengairan, Subak di Bali yang telah dilaksanakan turun temurun dari generasi ke generasi, merupalan dasar dari Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan Kedadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Subak adalah kecerdasan dan kearifan lokal yang kini mendapat pengakuan dari The World Heritage. Kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai dasar Pancasila terdapat di seluruh wilayah Nusantara. Tidak ada yang diambil dari bangsa atau wilayah lain. Meskipun berbeda-beda, namun nilainya tetap sama.
Dari situlah nilai-nilai Pancaila menjadi dasar, setelah berdiri negara Republik Indonesia, atau setelah Indonesia ‘merdeka’. Oleh perumus, nilai-nilai dalam berkehidupan suku bangsa yang ada dalam masyarakat, diperas menjadi lima sila di dalam rumusan Pancasila. Sejak itulah Pancasila dijadikan dasar Negara Republik Indonesia. Dasar adalah merupakan fondasi atau landasan sebuah negara. Bahkan merupakan dasar filosofis yang tertinggi.
Jika kemudian muncul pemikiran baru Pancasila sebagai pilar – hendaknya benar-benar dikaji ulang dalam memahami dan memaknai dasar-dasar lahirnya sila-sila dalam Pancasila (setelah Indonesia ‘merdeka’). Sebab, pilar adalah tiang, bukan dasar/fondasi. Tiang alias pilar itu tidak sekuat fondasi. Yang perlu dipertanyakan adalah: pemikiran yang melatarbelakangi upaya berubahnya Pancasila dari dasar menjadi pilar. Selanjutnya, apa alasan mengapa Pancasila bukan sebagai dasar, tetapi bergeser sebagai pilar?
Jika Pancasila menjadi pilar, pilar tersebut berdiri pada fondasi/dasar apa? Dengan kata lain, jika Pancasila menjadi pilar, lalu layak dipertanyakan: apa yang (hendak) diletakkan sebagai dasar?
Bangsa Indonesia adalah pewaris negara, tentu saja beserta dasar negara yang telah digali secara cerdas oleh para the founding fathers. Sebagai pewaris harus sensitif dan cerdas terhadap setiap segala bentuk upaya pengubahan. Jangan menutup mata, telinga dan hati nurani terhadap bukti-bukti sejarah, hukum maupun budaya yang telah secara implisit maupun eksplisit meletakkan Pancasila sebagai dasar negera Republik Indonesia. Salah satu contoh, dokumen dari Dialog Budaya dalam rangka Penyusunan Cetak Biru Pembangunan Nasional Kebudayaan atas prakarsa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dialog budaya tersebut dilaksanakan di Medan, 31 Januari 2012. Berikut salah satu lembar Kerangka Berpikir yang menunjukkan dokumen bahwa Pancasila adalah dasar negara, bukan pilar (ke)bangsa(an).
*Prof Dr Dra MG Endang Sumiarni SH, MHum; adalah guru besar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Tim Ahli Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2013.
0 comments:
Posting Komentar