MAKALAH
ANTARA PENGAWASAN HAKIM
&
MAHKAMAH KONSTITUSI
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Dosen Pengampu : Didik Sukriono
Disusun
oleh :
Ponimin
( 120405010016 )
Kaidir
Maha ( 120405010006 )
Eric
Septian Josantico ( 120405010036 )
Riski
Indra Bayu Pratama ( 120405010040 )
Noten
Suhun ( 120405010033 )
Rendy Arvianto ( 120405010014 )
Rendy Arvianto ( 120405010014 )
UNIVERSITAS
KANJURUHAN MALANG
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2014
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.Latar
belakang
Konsep
demokrasi di Indonesia semakin tampak sejak era reformasi. Amandemen terhadap
UUD 1945 menjadi tonggak awal perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Konsep ketatanegaraan yang baru dinilai sebagai penerepan prinsip demokrasi.
Demokrasi pasca amandemen membawa konsekuensi terhadap tatanan kenegaraan.
Salah satunya adalah hubungan antar lembaga negara. Sebelum adanya amandemen,
hubungan antar lembaga negara di Indonesia menggunakan sistem Distributionof
Power (pembagian kekuasaan)
namun setelah amandemen menggunakan sistem Separationof Power (pemisahan kekuasaan). Sistem pemisahaan
kekuasaan cenderung bersifat horisontal,yaitu bahwa kekuasaan dipisahkan ke
dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat
dan saling mengimbangi. Hal ini memberikan konsekuensi tidak ada lagi lembaga
tertinggi negara. Dengan demikian berarti semua lembaga negara yang diatur
dalam konstitusi memiliki kedudukan yang sederajat. Meskipun di Indonesia
menganut pemisahan kekuasaan,namun Indoneisa menerapkan sistem Chek
and Balance dalam membina hubungan antar lembaga lembaga negara.
Mahkamah Konstitusi yang didirikan tahun 2013
atas konsekuensi diamandemennya UUD 1945 yang menjadi lompatan demokrasi dalam
sejarah demokrasi Indonesia setelah dilengsernya rezim orde baru melalui
gerakan reformasi pada tahun 1998. Mahkamah Konstitusi yang tergolong masih
sangat mudah ini dinilai banyak kalangan cukup berprestasi dalam beberapa tahun
terakhir sebelum tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi non-aktif Akil
Mochtar.
Namun dari beberapa prestasi mahkamah
Konstitusi sebagai penjaga dan benteng konstitusi negara Republik Indonesia,
akhir tahun 2013 merupakan tahun yang kelam bagi dunia hukum dan peradilan.
Jika pada tahun-tahun sebelumnya kasus
korpsi menyeret lembaga pemerintah dan DPR, kali ini kasus korupsi menyeret
lembaga hukum. Lembaga yang terseret juga tidak tanggung-tanggung, Mahkamah
Konstitusi, garda terdepan dalam menjaga konstitusi di Indonesia. Hal ini
berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap kinerja hakim-hakim Mahkamah
Konstitusi itu sendiri semakin menurun.
Oleh karena itu kami mengangkat judul “Antara Pangawasan & Mahkamah Konstitusi” pada makalah ini. Hal
ini adalah langka dalam menyikapi permasalahan masyarakat banyak kurangnya pemahaman
terhadap proses rekrutmen hakim-hakim Mahkamah Konstitusi.
B.Identifikasi Masalah
Melihat
semua hal yang melatarbelakangi pemahaman masyarakat terhadap proses rekrutmen
hakim-hakim Mahkamah Konstitusi,sehingga kami menarik beberapa masalah dengan
berdasarkan kepada :
1) fungsi pengawasan publik terhadap proses
rekrutmen semakin kecil.
2) Meningkatnya pelanggaran dalam lingkup Mahkamah
Konstitusi dikemudian hari karena kurangnya pengawasan publik
C.Pembatasan Masalah
Proses berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan RI
D.Perumusan Masalah
Atas dasar penentuan latar belakan masalah dan
identifikasi masalah diatas,maka kami dapat mengambil perumusan masalah sebagai
berikut :
1) Apa yang dimaksudkan Mahkamah Konstitusi
2) Bagaimana sistem pengangkatan Hakim Mahkamah
Konstitusi
3) Bagaimana Sistem pemberhentian hakim Mahkamah
Konstitusi
4) Bagaimana posisi publik terhadap Mahkamah
Konstitusi
E.Tujuan Penulisan
Penulisan ini disusun dengan tujuan sebagai
berikut :
1. Terhadap Penulis
Penulis ini disusun dengan tujuan penulis dapat
menjadikan sebagai pengembangan khasanah intelektual tentang Mahkamah
Konstitusi dan sebagai bahan referensi dikemuadian hari.
2. Terhadap Kampus
Tulisan ini diharapkan dapat memenuhi tugas
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
3. Terhadap Masyarakat Umum
Tulisan ini diharapkan dapat merubah paradigma
masyarkat terhadap masyarakat sebagai fungsi pengawasan publik terhadap pejabat
negara .
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
M
|
enurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI )
arti kata “Mahkamah” adalah badan
tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran,sedangkan Konstitusi atau Undang-undang
Dasar (bahasa latin: constitutio) dalam negara
adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negara --
biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Hukum ini tidak mengatur
hal-hal yang terperinci, melainkan hanya menjabarkan prinsip-prinsip yang
menjadi dasar bagi peraturan-peraturan lainnya. Dalam kasus bentukan negara,
konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah
ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai
prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam
bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada
umumnya, Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga
masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang
mendefinisikan fungsi pemerintahan negara.
Sehingga Mahkamah Konstitusi adalah lembaga
tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indosesia yang merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 ( UUD NRI TH 1945 ) menyatakan,kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha negara,dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan ketentuan tersebut,Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah
Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Dengan
demikian,Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan,sebagai cabang
kekuasaan yudikatif,yang mengadili perkara-perkara tertentu yang kewenangannya
berdasarkan ketentuan UUD 1945.
B.Kedudukan Mahkamah Konstitusi
M
|
ahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga
(tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan
Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur
kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ
negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang
Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah:
1)
Dewan Perwakilan Rakyat
2)
Dewan Perwakilan Daerah
3)
Majelis Permusyawaratan Rakyat
4)
Badan Pemeriksa Keuangan
5)
Presiden
6)
Wakil Presiden
7)
Mahkamah Agung
8)
Mahkamah Konstitusi
9)
Komisi Yudisial.
Di samping kesembilan lembaga
tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur
kewenangannya dalam UUD, yaitu
1)
Tentara Nasional Indonesia
2)
Kepolisian Negara Republik Indonesia
3)
Pemerintah Daerah
4)
Partai Politik.
Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut
namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur
dengan undang-undang, yaitu:
1)
Bank Central yang tidak disebut namanya
“Bank Indonesia”
2)
Komisi Pemilihan Umum yang juga bukan
nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi
Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan
lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.
Karena itu, kita dapat membedakan dengan
tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan
kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power), dan
bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal
dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini
misalnya adalah pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional,
dan sebagainya. Sedangkan contoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi
Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK).
Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi
dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan
Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan
pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary)
yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga
permusyawaratan-perwakilan (legislature).
Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota
Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini
terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur
organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang
strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima
lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer.
Meskipun tidak secara persis, Mahkamah
Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan
perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun subjek hukum lainnya,
sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per orang, melainkan
dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara-perkara yang diadili di
Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut persoalan-persoalan kelembagaan
negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas
ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat
umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang atau kasus demi kasus
ketidak-adilan secara individuil dan konkrit. Yang bersifat konkrit dan
individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan perkara ‘impeachment’
terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada pokoknya, seperti yang
biasa saya sebut untuk tujuan memudahkan pembedaan, Mahkamah Agung pada
hakikatnya adalah ‘court of justice’,
sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah ‘court
of law’[1].
Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang
kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri.
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang
menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik
secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung independensinya,
berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata
anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja,
sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai
organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta
administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu. Atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi, Sekretaris
Jenderal dan Panitera tetap diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan
Presiden. Bahkan hakim konstitusi secara administratif diangkat dan
diberhentikan dengan Keputusan Presiden.
C.Mekanisme
Pengangkatan,Pemberhentian dan hubungan dengan lembaga-lembaga negara lainnya.
1) Tiga Lembaga Pengisi Jabatan
Sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon
yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu :
a)
3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat
b)
3 (tiga) orang oleh Presiden
c)
dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung[2].
Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga yang
akan mengisi lowongan tersebut adalah lembaga darimana pencalonan hakim
sebelumnya berasal. Misalnya, hakim “A” meninggal dunia atau diberhentikan,
maka apabila pengusulan pencalonannya sebelumnya berasal dari Pemerintah,
berarti Presidenlah yang berwenang menentukan calon pengganti hakim yang
meninggal tersebut. Jika pencalonannya sebelumnya berasal dari Dewan Perwakilan
Rakyat, maka pengisian jabatan penggantinya juga harus diajukan oleh DPR
setelah melalui proses pemilihan sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain,
dalam rekruitmen hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhubungan erat dengan
3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Mahkamah Agung.
2)
Hubungan
dengan Mahkamah Agung
Selain hal-hal yang diuraikan di
atas, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait
dengan materi perkara pengujian undang-undang. Setiap perkara yang telah
diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan atas
perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh
Mahkamah Agung dihentikan sementara sampai putusan atas perkara.
Mengenai kemungkinan sengketa
kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu menurut ketentuan Pasal
65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[3],
Mahkamah Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara
di Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa
kewenangan antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya
ketentuan semacam ini kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan
yang kuat untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’ dalam perkara sengketa kewenangan. Salah satu
alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undang-undang
menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak
seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah
Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat
final, dan karena itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak,
putusannya menjadi tidak final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran
jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi,
maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh
karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari
ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa
kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi.
Padahal, dalam kenyataannya dapat
saja Mahkamah Agung terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan
lembaga negara lain menurut Undang-Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi
ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan
Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong hendak diisi, pernah timbul kontroversi,
lembaga manakah yang berwenang memilih Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut.
Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan
oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi, menurut ketentuan UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang
ketika itu masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu
masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut
dan menimbulkan sengketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
berkenaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis
Mahkamah Agung harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah
Konstitusi.
Namun demikian, terlepas dari persoalan
tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung seperti itu dapat diterima
sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah Konstitusi sendiri baru
didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan konstitusi ini nantinya telah
berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin suatu saat nanti ketentuan UU
tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut dapat disempurnakan
sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara Mahkamah Konstitusi
dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai salah satu lembaga
pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai penguji peraturan di
bawah undang-undang.
3)
Hubungan
dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat adalah
organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam memeriksa undang-undang yang
diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan
mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik lisan maupun tertulis
dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk Undang-Undang. Di samping itu,
seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga merupakan salah satu lembaga yang
berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim konstitusi dengan cara memilih
calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada Presiden yang
selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga
sebagaimana mestinya.
Dewan Perwakilan Rakyat juga dapat
bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara sengketa kewenangan antar
lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa dengan Dewan Perwakilan
Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar. Begitu juga
DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden, dengan BPK, atau dengan MPR dalam
menjalankan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Undan-Undang Dasar kepada
lembaga-lembaga tersebut. Di samping itu, DPR juga berperan penting dalam
penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini adalah anggaran MK yang
tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.
Dengan perkataan lain, hubungan
antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan
dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi,
DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang
berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil
pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan
yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah
melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan
oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK.
4)
Hubungan
dengan Presiden/Pemerintah
Selain
bertindak sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu,
semua pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan
Keputusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan
pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai
struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap
harus tunduk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada
Presiden. Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka
yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi
Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap
merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga
kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan
Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada
Presiden. Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga
bertindak sebagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan
Mahkamah Konstitusi.
Selain
itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran sebagai ko-legislator. Meskipun
pembentuk undang-undang secara konstitusional adalah DPR, tetapi karena
perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya
ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan bersama
serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan
undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga dapat disebut sebagai
ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan
kedudukan DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini misalnya tercermin dalam
kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai tanda telah
mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari sejak itu, meskipun RUU
tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut berlaku
dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 pasca
Perubahan[4].
Sebagai
ko-legislator, maka setiap pengujian Undang-Undang oleh MK tidak boleh
mengabaikan pentingnya keterangan, baik lisan ataupun tulisan, dari pihak
pemerintah. Apalagi, di samping sebagai ko-legislator, Pemerintah/Presiden juga
merupakan salah satu lembaga pelaksana undang-undang (eksekutif). Karena itu,
Pemerintah sangat tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan
mengerti mengenai latar maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh karena ada
atau tidak adanya Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap
pengujian UU, keterangan dari pihak pemerintah seperti halnya keterangan dari
pihak DPR sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang menurut
penilaian MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan
keterangan Pemerintah atau DPR.
Dalam
hal perkara pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon adalah
pemerintah. Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum,
pemerintah tidak boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati,
dan Walikota adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak
boleh ikut campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam
penentuan rincian dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah
ditetapkan sebagaimana mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut
tetap memerlukan dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan
sebagaimana mestinya. Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi
keterpisahan hubungan antara Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak
boleh mempengaruhi atau mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas
konstitusional di bidang peradilan.
5)
Hubungan
dengan Komisi Yudisial
Pasal
24B ayat (1) UUD 1945 menyebut: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim”. Dalam ayat (4) pasal
tersebut ditentukan pula: “Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial
diatur dengan undang-undang”. Dibaca secara harfiah, maka subjek yang akan
diawasi oleh Komisi Yudisial ini adalah semua hakim menurut Undang-Undang Dasar
1945. Artinya, semua hakim dalam jajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
termasuk dalam pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) tersebut. Namun
demikian, jika ditelusuri sejarah perumusan Pasal 24B ayat (1) tersebut,
ketentuan Pasal 24C yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi tidak terkena
maksud pengaturan yang tercantum dalam Pasal 24B tentang Komisi Yudisial.
Fungsi komisi ini semula hanya dimaksudkan terkait dengan Mahkamah Agung yang
diatur dalam Pasal 24A. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung, dan karena itu subjek hukum yang diawasi oleh Komisi Yudisial juga
adalah para hakim agung pada Mahkamah Agung.
Namun
demikian, karena secara harfiah, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya menyebut
perkataan “... serta perilaku hakim”, bukan “... serta perilaku hakim agung”,
maka tafsir fungsi Komisi Yudisial menurut ayat ini mau tidak mau tidak
terbatas hanya pada hakim agung, melainkan seluruh hakim. Akan tetapi,
keseluruhan hakim yang dimaksudkan itupun hanya terbatas pada jajaran hakim di
lingkungan Mahkamah Agung, dan tidak mencakup pengertian hakim konstitusi. Baik
secara historis (historical
interpretation) maupun secara sistematis (systematic interpretation) yaitu dengan melihat urutan sistematis
pasal demi pasal, hakim konstitusi memang tidak termasuk subjek yang diawasi
oleh Komisi Yudisial. Namun demikian, berdasarkan penafsiran harfiah, hakim
konstitusipun dapat pula dimasukkan ke dalam pengertian hakim yang diawasi
menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1) tersebut. Oleh karena itulah Undang-Undang
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menganut pengertian yang terakhir
ini, yaitu menafsirkan kata ‘hakim’ dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 secara
luas sehingga mencakup seluruh jajaran hakim dalam lingkungan Mahkamah Agung
dan semua hakim pada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan mengenai hal ini dapat
dilihat dalam Bab III mengenai wewenang dan tugas Komisi Yudisial, yaitu dalam
ketentuan Pasal 13 sampai dengan Pasal 25 UU No.22 Tahun 2004 tersebut. Dengan
demikian, Komisi Yudisial berfungsi sebagai lembaga pengawas Mahkamah
Konstitusi, yaitu melalui kewenangannya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku para hakim konstitusi sebagaimana mestinya.
D.Tujuan dan
fungsi pengawasan masyarakat
Pengawasan merupakan fungsi manajerial
yang keempat setelah perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan. Sebagai
salah satu fungsi manajemen, mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi
memang mutlak diperlukan. Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa
diiringi dengan suatu sistem pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas
akan mengakibatkan lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan
yang telah ditentukan.
Istilah pengawasan dalam bahasa Inggris
disebut controlling, yang oleh Dale (dalam Winardi, 2000:224)
dikatakan bahwa: “… the modern concept of control … provides
a historical record of what has happened …and provides date the
enable the … executive … to take corrective
steps …”. Hal ini berarti bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu
dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung
arti memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan
apa yang direncanakan. More (dalam Winardi, 2000:226) menyatakan bahwa:
“… there’s many a slip between giving works, assignments to men and
carrying them out. Get reports of what is being done, compare it with what
ought to be done, and do something about it if the two aren’t the same.
Sedangkan menurut Admosudirdjo (dalam
Febriani, 2005:11) yang mengatakan bahwa pada pokoknya controlling atau
pengawasan adalah keseluruhan daripada kegiatan yang membandingkan atau
mengukur apa yang sedang atau sudah dilaksanakan dengan kriteria, norma-norma,
standar atau rencana-rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sementara berkaitan dengan tujuan
pengawasan, Maman Ukas (2004:337) mengemukakan:
- Mensuplai pegawai-pegawai manajemen dengan
informasi-informasi yang tepat, teliti dan lengkap tentang apa yang akan
dilaksanakan.
- Memberi kesempatan pada pegawai dalam meramalkan
rintangan-rintangan yang akan mengganggu produktivitas kerja secara teliti
dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan atau
mengurangi gangguan-gangguan yang terjadi.
- Setelah kedua hal di atas telah dilaksanakan,
kemudian para pegawai dapat membawa kepada langkah terakhir dalam mencapai
produktivitas kerja yang maksimum dan pencapaian yang memuaskan dari pada
hasil-hasil yang diharapkan.
Sedangkan Situmorang dan Juhir (1994:26)
mengatakan bahwa tujuan pengawasan adalah :
- Agar terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa
yang didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna
(dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang
konstruksi dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat (kontrol
sosial) yang obyektif, sehat dan bertanggung jawab.
- Agar terselenggaranya tertib administrasi di
lingkungan aparat pemerintah, tumbuhnya disiplin kerja yang sehat.
- Agar adanya keluasan dalam melaksanakan tugas,
fungsi atau kegiatan, tumbuhnya budaya malu dalam diri masing?masing
aparat, rasa bersalah dan rasa berdosa yang lebih mendalam untuk berbuat
hal-hal yang tercela terhadap masyarakat dan ajaran agama.
E.Pengawasan terhadap
hakim Mahkamah Konstitusi menurut UUD 1945
Pertama kali Mahkamah Konstitusi
membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yaitu adanya
tulisan artikel Refly Harun di kolom opini kompas edisi 25 Oktober 2010
yang megkritisi pernyataan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang
menyatakan “Sampai pukul 12.46
tanggal 19 Oktober,
kami bersih 100
persen! Siapa yang
punya bukti (sebaliknya) silakan,
akan kami bayarlah.”
pada saat melakukan
jumpa pers dikantor mahkamah konstitusi,
di dalam artikel
Refly Harun menyatakan
dia melihat sendiri
uang dolar amerika serikat bernilai sekitar Rp 1 miliar yang diserahkan
kepada hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan hakim Arsad Sanusi dan
seorang panitera pengganti Mahkamah Konstitusi
yang diduga terkait
dengan upaya untuk
memenangkan perkara sengketa pemilihan kepala daerah yang
ditangani Mahkamah Konstitusi Ketua Mahkamah Konstitusi langsung merespon
terhadap artikel Refly Harun dengan menunjuk Refly Harun sebagai ketua
investigasi dugaan suap tersebut, Mahkamah Konstitusi juga menunjuk
dua aktivis antikorupsi
sebagai anggota tim
untuk membantu Refly
Harun. Mereka adalah Saldi
Isra dan Bambang
Widjojanto. Mereka juga
didampingi pengacara senior Adnan
Buyung Nasution dan
Wartawan senior Bambang
Harymurti. Menunjuk Bambang
Widjojanto menjadi pemimpin de facto investigasi. Setelah tim
bekerja, akhirnya tim
menyerahkan hasil investigasi
mereka dengan mengadakan jumpa
pers di Gedung
Mahkamah Konstitusi pada
hari Kamis tangal
9 Desember 2010, semua
anggota hadir kecuali
Bambang Harimurty. Semua
anggota yang hadir secara
bergilir menjelaskan hasil investigasi mereka dan akhirya Bambang Widjojanto
menjelaskan lebih detail.
Pada intinya hasil
investigasi yang didapat
tim bahwa tim
tidak punya cukup bukti
untuk menguatkan dugaan
praktik suap yang
melibatkan hakim Mahkamah Konstitusi
yang disebutkan Refly
Harun dalam tulisannya.
Tim investigasi akhirya merekomendasikan membentuk
majelis kehormatan hakim
untuk memeriksa kemungkinan adanya
pelanggaran kode etik
oleh hakim konstitusi
dan juga merekomendasikan agar
temuan tim investigasi ditindak lanjutkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi
melalui proses hukum
Dalam Undang-
undang Dasar 1945
(UUD 1945) sudah
diatur tentang lembaga pengawas kehakiman yang tertulis pada
pasal 24 B ayat 1 :
”Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai
wewenang lain dalam
rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”
Namun. dalam
pelaksanaan tugasnya ternyata
langkah-langkah Komisi Yudisial
ditanggapi secara
Kontroversial. Bahkan kewenagan
lembaga ini dipangkas
melalui pututsan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor.
005/PUUIV/2006 tertanggal 23 Agustus 2006 yang dibuat berdasarkan
permohonan pengujian atas UU No. 22 Tahun 2004 oleh 30 Hakim Agung. Alasan Mahkamah
Konstitusi memangkas sebagian
kewenagan Komisi Yudisial tersebut, antara
lain, belum adanya
kriteria yang jelas
tentang perilaku hakim
sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum karena
tumpang tindih dengan
pengawasan teknis yustisial yang dilakukan secara melekat oleh pimpinan
Mahkamah Agung sebagai lembaga pemegang
kekuasaan kehakiman. Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa
pengawasan yang dilakukan Komisi
Yudisial terhadap hakim
adalah pengawasan terhadap
individuindividu hakim dan
bukan pengawasan terhadap
institusi Mahkamah Agung
/Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman sebab dengan
kedudukkannya sebagai lembaga Negara “ yang bebas dan merdeka” Mahkamah Agung
/Mahkamah Konstitusi tidak boleh
diawasi oleh lembaga
Negara yang lain.
Mengenai sifat mandiri
Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam pasal 24B ayat(1) UUD 1945 bahwa
“ Komisi Yudisial Bersifat Mandiri ”
yang kemudian yang di pertegas didalam UU
No 18 Tahun 2011tentang Komisi
Yudisial bahwa “Komisi
Yudisial dalam pelaksanaan
wewenangnya bebas dari
campur tangan atau pengaruh
kekuasaan lain “
maka Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa kemandirian
Komisi Yudisial tersebut bersifat kemandirian kelembagaan bukan kemandirian
perseorangan anggota Komisi
Yudisial[5].
Namun saja ada
yang perlu kita
pahami pada rumusan ketentuan pasal
24B ayat(1) UUD 1945 hasil perubahan ketiga
disitu dirumuskan dengan jelas:
“komisi yudisial
bersifat mandiri yang
berwenang megusulkan pegangkatan
hakim agung dan mempuyai kewenagan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim”
artinya tugas
pertama komisi ini
adalah megusulkan pegangkatan
hakim agung dan
tugas keduaya adalah menjaga
dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta
perilaku hakim, karena tugas
pertamaya dikaitkan dengan
hakim agung dan
tugas keduaya dengan hakim saja maka secara harfiah jelas
sekali artiya, yaitu Komisi Yudisial bertugas menjaga (preventif) dan
menegakkan (korektif dan
represif) kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim
di Indonesia. Dengan
demikian, hakim yang
harus dijaga dan
ditegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilakunya mencakup hakim
agung, hakim pengadilan umum,
pengadilan agama, pengadilan
tata usaha negara,
dan pengadilan militer
serta termaksud hakim konstitusi[6].
Kalau UUD
1945 tidak memisahkan
pengertian hakim berdasarkan
ruang lingkup, maka semua
hakim dalam ranah
kekuasaan negara harus
dimaksudkan sebagai hakim. Karena kekuasaan kehakiman dilaksanakan
oleh hakim dalam semua lingkungan peradilan, maka tidak tepat mengatakan bahwa
hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim Tambah lagi, dalam
risalah amandemen UUD 1945, tidak pernah disebutkan bahwa hakim konstitusi tidak
termasuk dalam pengertian
hakim. Artinya, dengan
tidak dibahas dan disebutkan bahwa Hakim Konstitusi masuk
dalam ranah pengawasan Komisi
Yudisial tidak berarti bahwa
Hakim Konstitusi dapat
ditafsirkan tidak masuk
dalam wilayah pengawasan Komisi Yudisial
1) Makna
Hakim Pada Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945
Pejabat penegak
hukum yang paling
dominan dalam pelaksanaan
penegakan hukum ialah hakim. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan
putusan terhadap suatu perkara
disandarkan pada intelektual,
moral dan integritas
hakim terhadap nilai-nilai keadilan. Kedudukan Hakim berbeda
dengan pejabat-pejabat yang lain, ia harus benarbenar menguasai hukum, bukan
sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Wirjono Prodjodikoro
berpendapat bahwa perbedaan
antara pengadilan dan
instansiinstansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya
sehari-hari selalu secara positif
dan aktif memperhatikan
dan melaksanakan macam
macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu Negara .
Istilah "hakim" sendiri
berasal dari kata
Arab مك ح (hakima)
yang berarti "aturan, peraturan, kekuasaan,
pemerintah". Ia yang
memutuskan bagi pihak
yang dituntut. Hakim harus
dihormati di ruang
pengadilan dan pelanggaran
akan hal ini
dapat menyebabkan hukuman. Hakim biasanya mengenakan baju berwarna hitam.
Dalam pasal
24B Undang-undang Dasar
1945 ditegaskan bahwa
Komisi Yudisial memiliki kewenagan
menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabatat
serta perilaku hakim[7]. Dalam
taksiran pada pasal ini berkaitan dengan makna hakim dalam kalimat “dalam
rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim” dalam
artinya dalam Undang-undang
Dasar 1945 tidak
menjelaskan atau membedakan hakim
mana yang dimaksud
dengan hakim dalam
ketentuan pada pasal
24B Undang-undang Dasar 1945
tersebut, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan
bahwa Komisi Yudisial berhak
mengawasi semua hakim sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945, maka dalam
hal ini Komisi
Yudisial berhak mengawasi
hakim yang ada
dibawah naugan Mahkamah Agung,
hakim Mahkamah Agung dan hakim Mahkamah Konstitusi Kehadiran Komisi
Yudusial sangat diharapakan
karena mas yarakat kehilahgan kepercayaan pada
istitusi peradilan, peran
pengawasan internal yang
dilakukan Mahkamah Agung tidak efektif,
karena kerap digunakan sebagai upaya
melindungi oknum yang berbuat atas nama semangat korps Keberadaan Komisi
Yudisial sebagai lembaga
Negara yang bersifat
penunjang (auxiliary organ) terhadap
kekuasaan kehakiman, berdasarkan
Undang-undang Dasar 1945 Komisi
Yudisial mempuyai kedudukan
yang sederajat dengan
lembaga Negara lain
seperti Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan lembaga
Negara lainya. Komisi
Yudisial bukan merupakan pelaku
kekuasaan kehakiman tetapi
kewenagan yang berhubugan
dengan kekuasan kehakiman[8]. Wewenang Komisi
Yudisial dalam menjalankan
tugasnya diatur kembali dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2011
perubahan atas Undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial dibentuk bersifat independen yang akan melakukan pengawasan
terhadap kekuasaan kehakiman yang juga bersifat independen, dengan demikian
prinsip indepedensi akan benar-benar di imbangin oleh prinsip akuntabilitas
secara rasional dan proposional.
Dengan kewenagan
yuridis yang dimilikinya,Komisi Yudisial
sesungguhnya memiliki peran vital dalam melahirkan peradilan yang berwibawa.
Kehadiranya pun sangat dinantikan
oleh sebagian besar
masyarakat, terbukti dengan
telah diterimanya banyak pengaduan dari berbagai lapisan masyarakat pada awal pembentukan
Komisi Yudisial dari perspektif ini sudah
nampak bahwa dunia
hukum akan berjalan
maksimal ketika internal peradilan berbenah dan mereformasi
diri Komisi Yudisial dihadapkan pada kemelut dugaan peyimpangan atau pelangaran
kode etik (code of conduct)
yang terjadi terjadi
di lembaga peradilan,
terjadinya tarik menarik kebenaran mengenai
tata cara pemanggilan
Hakim Agung dalam
pemeriksaan, hal ini menunjukkan adanya
konflik wewenang dalam
kelembagaan. Namun hal
ini tidak akan terjadi
jika pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik
memehami semangat dan
substansi reformasi
peradilan melalui pembentukan
Komisi Yudisial. Suatu
hal yang mendasar
yang perlu kita pahami kedudukan Komisi Yudisial setara dan sejajar
dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
dibagun dan dibentuk
diatas landasan konstitusi
yang sama dan diatur didalam bab yang sama yaitu Bab IX
Undang –undang Dasar 1945 pasal 24A, 24B dan 24C
Dalam
pasal 13 ayat Undang- undang Nomor 18 Tahun 2011 perubahan atas Undang –undang Nomor
22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial
diatur mengenai kewenangan Komisi Yudisial, Komisi Yudisial
memiliki kewengan untuk mengusulkan hakim agung dan ad hoc di Mahkamh Agung ke pada DPR , menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dan menetapkan kode
etikdan pedoman perilaku hakim serta menjaga dan
menegakkan pelaksanaan kode
etik dan pedoman
perilaku hakim. Dalam menjaga kehormatan hakim seperti yang
diamanatkan Pasal 24B Undang-undang Dasar 1945 kemudian diperjelas
pada pasal 20
ayat (1) Undang-undang Nomor
18 tahun 2011 perubahan atas
Undang-undang Nomor 22
tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial mengenai tugas Komisi
Yudisial dalam menjaga
dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku
hakim Komisi Yudisial
mempuyai tugas melakukan
pemantauan dan pengawasan terhadap
perilaku hakim,menerima laporan dari
masnyarakat, melakukan verifikasi, klarifikasi
dan investigasi terhadap
laporan dugaan pelanggaran
kode etik kemudian memutuskan
benarnya laporan dugaan
pelanggaran kode etik
setelah itu maka Komisi Yudisial akan megambil langkah
hukum selanjutnya
2) Implementasi
pasal 24B Undang-undang Dasar 1945 terhadap pengawasan hakim Mahkamah
Konstitusi
Dari
berbagai pendapat ahli hukum di atas dapat dimaknai bahwa dalam pengawasan setidaknya
ada beberapa hal yang saling terkait yaitu
a) Lembaga
yang melakukan pengawasan,
b) Tolak Ukur
melakukan pengawasan seperti
peraturan perundang-undangan atau rencana kerja.
c) Pihak/lembaga/badan
yang diawasi.
d) Hasil
yang diperoleh dari pengawasan yang telah dilakukan.
Dengan
demikian, pengawasan sangat terkait dengan kesempurnaan penyelenggaraan pemerintahan.
Hal tersebut ditegaskan secara rinci oleh Irfan Fachruddin yang mengatakan :
“Apabila dihubungkan
dengan pengawasan terhadap
pemerintah, terlihat bahwa pengertian umum
pengawasan masih tetap
relepan, alasannya :
Ø Pertama, umumnya sasaran pengawasan
terhadap pemerintah adalah
pemeliharaan atau penjagaan
agar Negara hukum kesejahteraan
dapat berjalan dengan
baik dan dapat
pula membawa kekuasaan pemerintah
sebagai penyelenggara kesejahteraan
masyarakat kepada
pelaksanaan yang baik
pula dan tetap
pula pada batas
kekuasaannya.
Ø Kedua, tolak ukurnya
adalah hukum yang
mengatur dan membatasi
kekuasaan dan tindakan pemerintah dalam bentuk hukum
amaterial maupun hukum formil (Rechtmatigheid) serta manfaatnya
bagi kesejahteraan rakyat
(doelmatigheid);
Ø Ketiga, adanya pencocokan antara
perbuatan dan tolak
ukur yang telah
ditetapkan.
Ø Keempat, jika terdapat
tanda-tanda akan terjadi
penyimpangan terhadap tolak
ukur tersebut dilakukan tindakan
pencegahan. Kelima, apabila
dalam pencocokkan menunjukkan telah terjadi
penyimpangan dari tolak
ukur, kemudian diadakan
koreksi melalui tindakan
pembatalan, pemulihan terhadap akibat yang ditimbulkan dan mendisplinkan pelaku
kekeliruan itu”.
Berpijak pada
fakta rendahnya kepercayaan
publik terhadap lembaga pemegang kekuasaan kehakiman
tersebut, maka tentu hal ini menjadi tugas berat bagi jajaran kekuasaan
kehakiman untuk membangun kembal dihormati masyarakat. citra
peradilan menjadi bermartabat
dan Tentu yang menjadi sorotan terkait dengan citra
peradilan adalah aparat peradilan khususnya hakim. Masyarakat menyandarkan harapan yang sangat besar
kepada hakim yang benarbenar memiliki integritas dan profesionalisme, sehingga
tindakan dan tingkah lakunya menunjukkan ketidak
berpihakan (impartiality), memiliki integritas moral, serta pada kemampuannya memberikan putusan
yang baik. Keberhasilan seorang hakim dalam menegakkan hukum selain bersandar pada
prinsip rule of the law dan kemandirian kekuasaan hakim, juga sangat
ditentukan bagaimana integritas dan
perilakunya dalam menjalankan
tugas sehari-hari, baik di dalam persidangan maupun di luar persidangan.
Dalam konstelasi ketata
negaraan lahirnya Komisi
Yudisial juga megandung
makna yang cukup berarti. Langkah-langkah kontroversial Komisi Yudisial
dipandang sebagai ancaman oleh oknum-
oknum dilembaga-lembaga peradilan,
seperti Mahkamah Agung,
akibatnya Komisi Yudisial dilawan
oleh lembaga yang
merasa terancam eksistensinya. Kewenaagan Komisi Yudisial
itupun dipangkas dengan dikabulkanya
permohonan uji yudisial
Undangundang no 22
tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
005/PUU-IV/2006 tersebut menjadi tragedi buruk
bagi keberadaan Komisi Yudisial dalam mengemban amanat sucinya,
pemangkasan kewenangan Komisi
Yudisial oleh Mahkamah
Konstitusi mengindenfikasikan adanya
pertentagan kepentingan,
sehingga kewenagan Komisi
Yudisial mengawasi perilaku
hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sirna.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama
tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun
2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9
(sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung
dari Undang-Undang Dasar. Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan
fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural
maupun fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan
Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri,
terpisah dari mata anggaran instansi lain . Oleh karena itu, Pengawasan sangat dibutuhkan sebagai fungsi manajerial setelah
perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi
manajemen, mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi memang mutlak
diperlukan. Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa diiringi dengan
suatu sistem pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas akan
mengakibatkan lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang
telah ditentukan.
SARAN
Sebagai warga negara
maupun lembaga pengawas dalam bidang hukum.Erat kaitannya dengan prinsip demokrasi.Oleh
karena itu harus turut aktif melakukan tiga hal untuk mewujudkan demokrasi
konstitusional,ikut serta dalam proses pemuatan hukum yang aspiratif ( proses
of law making ),Ikut menciptakan dan membantu aparat penegak hukum ( Strukture
of Law ) agar terciptanya indonesia bernegara hukum yang konstitusinalisme .
DAFTAR PUSTAKA
Asshidiqie Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia, sinar grafika, Jakarta,2010
Asshiddiqie Jimly,
Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press,
Jakarta,2006
Pasal 18 ayat
(1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun 2003 No.98 dan
Tambahan LNRI No.4316).
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI
Tahun 2003 No.98 dan Tambahan LNRI No.4316).
Website :
[2] Lihat
Pasal 18 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun
2003 No.98 dan Tambahan LNRI No.4316).
[3] Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 ini selengkapnya
berbunyi: “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi”. LNRI Tahun 2003 No.98.
[4] Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 selengkapnya berbunyi:
“Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga
puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.
[5]
Lihat putusan mahkamah konstitusi nomor 005/PUU-IV/2006.
[6]
Jimli
asshidiqie, konstitusi & konstitusionalisme Indonesia, sinar grafika,
Jakarta,2010.
[7]
Pasal 24B Undang-undang Dasar 1945
.
[8]
Jimly Asshiddiqie, 2006,
Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Konstitusi Press, Jakarta, hal. 10.