Sabtu, 04 Januari 2014

Antara Pengawasan Hakim dan Mahkamah Konstitusi

MAKALAH
ANTARA PENGAWASAN HAKIM
&
MAHKAMAH KONSTITUSI
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Dosen Pengampu : Didik Sukriono



 





Disusun oleh :
Ponimin ( 120405010016 )
Kaidir Maha ( 120405010006 )
Eric Septian Josantico ( 120405010036 )
Riski Indra Bayu Pratama ( 120405010040 )
Noten Suhun ( 120405010033 )
Rendy Arvianto ( 120405010014 )
                                                               





UNIVERSITAS
KANJURUHAN MALANG
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar belakang
Konsep demokrasi di Indonesia semakin tampak sejak era reformasi. Amandemen terhadap UUD 1945 menjadi tonggak awal perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Konsep ketatanegaraan yang baru dinilai sebagai penerepan prinsip demokrasi. Demokrasi pasca amandemen membawa konsekuensi terhadap tatanan kenegaraan. Salah satunya adalah hubungan antar lembaga negara. Sebelum adanya amandemen, hubungan antar lembaga negara di Indonesia menggunakan sistem Distributionof Power (pembagian kekuasaan) namun setelah amandemen menggunakan sistem Separationof Power (pemisahan kekuasaan). Sistem pemisahaan kekuasaan cenderung bersifat horisontal,yaitu bahwa kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi. Hal ini memberikan konsekuensi tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Dengan demikian berarti semua lembaga negara yang diatur dalam konstitusi memiliki kedudukan yang sederajat. Meskipun di Indonesia menganut pemisahan kekuasaan,namun Indoneisa menerapkan sistem Chek and Balance dalam membina hubungan antar lembaga lembaga negara.
Mahkamah Konstitusi yang didirikan tahun 2013 atas konsekuensi diamandemennya UUD 1945 yang menjadi lompatan demokrasi dalam sejarah demokrasi Indonesia setelah dilengsernya rezim orde baru melalui gerakan reformasi pada tahun 1998. Mahkamah Konstitusi yang tergolong masih sangat mudah ini dinilai banyak kalangan cukup berprestasi dalam beberapa tahun terakhir sebelum tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi non-aktif Akil Mochtar.
Namun dari beberapa prestasi mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan benteng konstitusi negara Republik Indonesia, akhir tahun 2013 merupakan tahun yang kelam bagi dunia hukum dan peradilan. Jika pada tahun-tahun sebelumnya  kasus korpsi menyeret lembaga pemerintah dan DPR, kali ini kasus korupsi menyeret lembaga hukum. Lembaga yang terseret juga tidak tanggung-tanggung, Mahkamah Konstitusi, garda terdepan dalam menjaga konstitusi di Indonesia. Hal ini berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap kinerja hakim-hakim Mahkamah Konstitusi itu sendiri semakin menurun.
Oleh karena itu kami mengangkat judul “Antara Pangawasan & Mahkamah Konstitusi” pada makalah ini. Hal ini adalah langka dalam menyikapi permasalahan masyarakat banyak kurangnya pemahaman terhadap proses rekrutmen hakim-hakim Mahkamah Konstitusi.

B.Identifikasi Masalah
Melihat semua hal yang melatarbelakangi pemahaman masyarakat terhadap proses rekrutmen hakim-hakim Mahkamah Konstitusi,sehingga kami menarik beberapa masalah dengan berdasarkan kepada :
1)      fungsi pengawasan publik terhadap proses rekrutmen semakin kecil.
2)      Meningkatnya pelanggaran dalam lingkup Mahkamah Konstitusi dikemudian hari karena kurangnya pengawasan publik

C.Pembatasan Masalah
Proses berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan RI

D.Perumusan Masalah
Atas dasar penentuan latar belakan masalah dan identifikasi masalah diatas,maka kami dapat mengambil perumusan masalah sebagai berikut :
1)      Apa yang dimaksudkan Mahkamah Konstitusi
2)      Bagaimana sistem pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi
3)      Bagaimana Sistem pemberhentian hakim Mahkamah Konstitusi
4)      Bagaimana posisi publik terhadap Mahkamah Konstitusi

E.Tujuan Penulisan
Penulisan ini disusun dengan tujuan sebagai berikut :
1.      Terhadap Penulis
Penulis ini disusun dengan tujuan penulis dapat menjadikan sebagai pengembangan khasanah intelektual tentang Mahkamah Konstitusi dan sebagai bahan referensi dikemuadian hari.
2.      Terhadap Kampus
Tulisan ini diharapkan dapat memenuhi tugas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
3.      Terhadap Masyarakat Umum
Tulisan ini diharapkan dapat merubah paradigma masyarkat terhadap masyarakat sebagai fungsi pengawasan publik terhadap pejabat negara .












BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian
M
enurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) arti kata “Mahkamah” adalah badan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran,sedangkan Konstitusi atau Undang-undang Dasar (bahasa latin: constitutio) dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negara -- biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Hukum ini tidak mengatur hal-hal yang terperinci, melainkan hanya menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan lainnya. Dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya, Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara.

Sehingga Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indosesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 ( UUD NRI TH 1945 ) menyatakan,kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha negara,dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan ketentuan tersebut,Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Dengan demikian,Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan,sebagai cabang kekuasaan yudikatif,yang mengadili perkara-perkara tertentu yang kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.

B.Kedudukan Mahkamah Konstitusi
M
ahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah:
1)      Dewan Perwakilan Rakyat
2)      Dewan Perwakilan Daerah
3)      Majelis Permusyawaratan Rakyat
4)      Badan Pemeriksa Keuangan
5)      Presiden
6)      Wakil Presiden
7)      Mahkamah Agung
8)      Mahkamah Konstitusi
9)      Komisi Yudisial.
Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu
1)      Tentara Nasional Indonesia
2)      Kepolisian Negara Republik Indonesia
3)      Pemerintah Daerah
4)      Partai Politik.
Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu:
1)      Bank Central yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”
2)      Komisi Pemilihan Umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.

Karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power), dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini misalnya adalah pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan sebagainya. Sedangkan contoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK).
Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer.
Meskipun tidak secara persis, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara-perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut persoalan-persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang atau kasus demi kasus ketidak-adilan secara individuil dan konkrit. Yang bersifat konkrit dan individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan perkara ‘impeachment’ terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada pokoknya, seperti yang biasa saya sebut untuk tujuan memudahkan pembedaan, Mahkamah Agung pada hakikatnya adalah ‘court of justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah ‘court of law’[1]. Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri.
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu. Atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Jenderal dan Panitera tetap diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Bahkan hakim konstitusi secara administratif diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden.
C.Mekanisme Pengangkatan,Pemberhentian dan hubungan dengan    lembaga-lembaga negara lainnya.

1)     Tiga Lembaga Pengisi Jabatan
Sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu :
a)      3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat
b)      3 (tiga) orang oleh Presiden
c)      dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung[2].
Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga yang akan mengisi lowongan tersebut adalah lembaga darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal. Misalnya, hakim “A” meninggal dunia atau diberhentikan, maka apabila pengusulan pencalonannya sebelumnya berasal dari Pemerintah, berarti Presidenlah yang berwenang menentukan calon pengganti hakim yang meninggal tersebut. Jika pencalonannya sebelumnya berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, maka pengisian jabatan penggantinya juga harus diajukan oleh DPR setelah melalui proses pemilihan sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, dalam rekruitmen hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhubungan erat dengan 3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.

2)      Hubungan dengan Mahkamah Agung
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait dengan materi perkara pengujian undang-undang. Setiap perkara yang telah diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan atas perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung dihentikan sementara sampai putusan atas perkara.
Pengujian undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengujian peraturan di bawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai kemungkinan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu menurut ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[3], Mahkamah Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya ketentuan semacam ini kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan yang kuat untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’ dalam perkara sengketa kewenangan. Salah satu alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undang-undang menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat final, dan karena itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi tidak final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi.

Padahal, dalam kenyataannya dapat saja Mahkamah Agung terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut Undang-Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong hendak diisi, pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang berwenang memilih Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi, menurut ketentuan UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang ketika itu masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut dan menimbulkan sengketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah Agung harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, terlepas dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung seperti itu dapat diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah Konstitusi sendiri baru didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan konstitusi ini nantinya telah berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin suatu saat nanti ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut dapat disempurnakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai penguji peraturan di bawah undang-undang.

3)      Hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam memeriksa undang-undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik lisan maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk Undang-Undang. Di samping itu, seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga merupakan salah satu lembaga yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim konstitusi dengan cara memilih calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana mestinya.
Dewan Perwakilan Rakyat juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden, dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping itu, DPR juga berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini adalah anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.

Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK.


4)      Hubungan dengan Presiden/Pemerintah

Selain bertindak sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu, semua pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan Keputusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap harus tunduk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada Presiden. Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Presiden. Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga bertindak sebagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran sebagai ko-legislator. Meskipun pembentuk undang-undang secara konstitusional adalah DPR, tetapi karena perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan bersama serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga dapat disebut sebagai ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini misalnya tercermin dalam kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai tanda telah mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari sejak itu, meskipun RUU tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut berlaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 pasca Perubahan[4].
Sebagai ko-legislator, maka setiap pengujian Undang-Undang oleh MK tidak boleh mengabaikan pentingnya keterangan, baik lisan ataupun tulisan, dari pihak pemerintah. Apalagi, di samping sebagai ko-legislator, Pemerintah/Presiden juga merupakan salah satu lembaga pelaksana undang-undang (eksekutif). Karena itu, Pemerintah sangat tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan mengerti mengenai latar maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh karena ada atau tidak adanya Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap pengujian UU, keterangan dari pihak pemerintah seperti halnya keterangan dari pihak DPR sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang menurut penilaian MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan keterangan Pemerintah atau DPR.
Dalam hal perkara pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon adalah pemerintah. Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum, pemerintah tidak boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak boleh ikut campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam penentuan rincian dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah ditetapkan sebagaimana mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut tetap memerlukan dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan sebagaimana mestinya. Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi keterpisahan hubungan antara Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh mempengaruhi atau mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusional di bidang peradilan.

5)      Hubungan dengan Komisi Yudisial

Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebut: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.  Dalam ayat (4) pasal tersebut ditentukan pula: “Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”. Dibaca secara harfiah, maka subjek yang akan diawasi oleh Komisi Yudisial ini adalah semua hakim menurut Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, semua hakim dalam jajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) tersebut. Namun demikian, jika ditelusuri sejarah perumusan Pasal 24B ayat (1) tersebut, ketentuan Pasal 24C yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi tidak terkena maksud pengaturan yang tercantum dalam Pasal 24B tentang Komisi Yudisial. Fungsi komisi ini semula hanya dimaksudkan terkait dengan Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24A. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan karena itu subjek hukum yang diawasi oleh Komisi Yudisial juga adalah para hakim agung pada Mahkamah Agung.
Namun demikian, karena secara harfiah, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya menyebut perkataan “... serta perilaku hakim”, bukan “... serta perilaku hakim agung”, maka tafsir fungsi Komisi Yudisial menurut ayat ini mau tidak mau tidak terbatas hanya pada hakim agung, melainkan seluruh hakim. Akan tetapi, keseluruhan hakim yang dimaksudkan itupun hanya terbatas pada jajaran hakim di lingkungan Mahkamah Agung, dan tidak mencakup pengertian hakim konstitusi. Baik secara historis (historical interpretation) maupun secara sistematis (systematic interpretation) yaitu dengan melihat urutan sistematis pasal demi pasal, hakim konstitusi memang tidak termasuk subjek yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Namun demikian, berdasarkan penafsiran harfiah, hakim konstitusipun dapat pula dimasukkan ke dalam pengertian hakim yang diawasi menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1) tersebut. Oleh karena itulah Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menganut pengertian yang terakhir ini, yaitu menafsirkan kata ‘hakim’ dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 secara luas sehingga mencakup seluruh jajaran hakim dalam lingkungan Mahkamah Agung dan semua hakim pada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Bab III mengenai wewenang dan tugas Komisi Yudisial, yaitu dalam ketentuan Pasal 13 sampai dengan Pasal 25 UU No.22 Tahun 2004 tersebut. Dengan demikian, Komisi Yudisial berfungsi sebagai lembaga pengawas Mahkamah Konstitusi, yaitu melalui kewenangannya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim konstitusi sebagaimana mestinya.

D.Tujuan dan fungsi pengawasan masyarakat
Pengawasan merupakan fungsi manajerial yang keempat setelah perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi manajemen, mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi memang mutlak diperlukan. Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa diiringi dengan suatu sistem pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas akan mengakibatkan lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.
Istilah pengawasan dalam bahasa Inggris disebut controlling, yang oleh Dale (dalam Winardi, 2000:224) dikatakan bahwa: “… the modern concept of control … provides a historical record of what has happened …and provides date the enable the … executive … to take corrective steps …”. Hal ini berarti bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan. More (dalam Winardi, 2000:226) menyatakan bahwa: “… there’s many a slip between giving works, assignments to men and carrying them out. Get reports of what is being done, compare it with what ought to be done, and do something about it if the two aren’t the same.

Sedangkan menurut Admosudirdjo (dalam Febriani, 2005:11) yang mengatakan bahwa  pada pokoknya controlling atau pengawasan adalah keseluruhan daripada kegiatan yang membandingkan atau mengukur apa yang sedang atau sudah dilaksanakan dengan kriteria, norma-norma, standar atau rencana-rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sementara berkaitan dengan tujuan pengawasan, Maman Ukas (2004:337) mengemukakan:
  1. Mensuplai pegawai-pegawai manajemen dengan informasi-informasi yang tepat, teliti dan lengkap tentang apa yang akan dilaksanakan.
  2. Memberi kesempatan pada pegawai dalam meramalkan rintangan-rintangan yang akan mengganggu produktivitas kerja secara teliti dan mengambil langkah­-langkah yang tepat untuk menghapuskan atau mengurangi gangguan-gangguan yang terjadi.
  3. Setelah kedua hal di atas telah dilaksanakan, kemudian para pegawai dapat membawa kepada langkah terakhir dalam mencapai produktivitas kerja yang maksimum dan pencapaian yang memuaskan dari pada hasil-hasil yang diharapkan.
Sedangkan Situmorang dan Juhir (1994:26) mengatakan bahwa tujuan pengawasan adalah :
  1. Agar terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna (dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat (kontrol sosial) yang obyektif, sehat dan bertanggung jawab.
  2. Agar terselenggaranya tertib administrasi di lingkungan aparat pemerintah, tumbuhnya disiplin kerja yang sehat.
  3. Agar adanya keluasan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau kegiatan, tumbuhnya budaya malu dalam diri masing?masing aparat, rasa bersalah dan rasa berdosa yang lebih mendalam untuk berbuat hal-hal yang tercela terhadap masyarakat dan ajaran agama.
E.Pengawasan terhadap hakim Mahkamah Konstitusi menurut UUD 1945

Pertama kali Mahkamah Konstitusi membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yaitu  adanya  tulisan artikel Refly Harun di kolom opini kompas edisi 25 Oktober 2010 yang megkritisi pernyataan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD  yang  menyatakan  “Sampai pukul  12.46  tanggal  19  Oktober,  kami  bersih  100  persen!  Siapa  yang  punya  bukti (sebaliknya)  silakan,  akan  kami  bayarlah.”  pada  saat  melakukan  jumpa  pers  dikantor mahkamah  konstitusi,  di  dalam  artikel  Refly  Harun  menyatakan  dia  melihat  sendiri  uang dolar amerika serikat bernilai sekitar Rp 1 miliar yang diserahkan kepada hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan hakim Arsad Sanusi dan seorang panitera pengganti Mahkamah Konstitusi  yang  diduga  terkait  dengan  upaya  untuk  memenangkan  perkara  sengketa pemilihan kepala daerah yang ditangani Mahkamah Konstitusi Ketua Mahkamah Konstitusi langsung merespon terhadap artikel Refly Harun dengan menunjuk Refly Harun sebagai ketua investigasi dugaan suap tersebut, Mahkamah Konstitusi juga  menunjuk  dua  aktivis  antikorupsi  sebagai  anggota  tim  untuk  membantu  Refly  Harun. Mereka  adalah  Saldi  Isra  dan  Bambang  Widjojanto.  Mereka  juga  didampingi  pengacara senior  Adnan  Buyung  Nasution  dan  Wartawan  senior  Bambang  Harymurti.  Menunjuk Bambang Widjojanto menjadi pemimpin de facto investigasi. Setelah  tim  bekerja,  akhirnya  tim  menyerahkan  hasil  investigasi  mereka  dengan mengadakan  jumpa  pers  di  Gedung  Mahkamah  Konstitusi  pada  hari  Kamis  tangal  9 Desember  2010,  semua  anggota  hadir  kecuali   Bambang  Harimurty.  Semua  anggota  yang hadir secara bergilir menjelaskan hasil investigasi mereka dan akhirya Bambang Widjojanto menjelaskan  lebih  detail.  Pada  intinya  hasil  investigasi  yang  didapat  tim  bahwa  tim  tidak punya  cukup  bukti  untuk  menguatkan  dugaan  praktik  suap  yang  melibatkan  hakim Mahkamah  Konstitusi  yang  disebutkan  Refly  Harun  dalam  tulisannya.  Tim  investigasi akhirya  merekomendasikan  membentuk  majelis  kehormatan  hakim  untuk  memeriksa kemungkinan  adanya  pelanggaran  kode  etik  oleh  hakim  konstitusi  dan  juga merekomendasikan agar temuan tim investigasi ditindak lanjutkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi melalui proses hukum
Dalam  Undang-  undang  Dasar  1945  (UUD  1945)  sudah  diatur  tentang  lembaga pengawas kehakiman yang tertulis pada pasal 24 B ayat 1 :

”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung  dan  mempunyai  wewenang  lain  dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”

Namun.  dalam  pelaksanaan  tugasnya  ternyata  langkah-langkah  Komisi  Yudisial  ditanggapi secara  Kontroversial.  Bahkan  kewenagan  lembaga  ini  dipangkas  melalui  pututsan  judicial review  oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.  005/PUUIV/2006 tertanggal 23 Agustus 2006 yang dibuat berdasarkan permohonan pengujian atas UU No. 22 Tahun 2004 oleh 30 Hakim Agung. Alasan  Mahkamah  Konstitusi  memangkas  sebagian  kewenagan  Komisi  Yudisial tersebut,  antara  lain,  belum  adanya  kriteria  yang  jelas  tentang  perilaku  hakim  sehingga menimbulkan  ketidakpastian  hukum  karena  tumpang  tindih  dengan  pengawasan  teknis yustisial  yang dilakukan secara melekat oleh pimpinan Mahkamah Agung sebagai lembaga pemegang  kekuasaan  kehakiman.  Mahkamah  Konstitusi  berpendapat  bahwa  pengawasan yang  dilakukan  Komisi  Yudisial  terhadap  hakim  adalah  pengawasan  terhadap  individuindividu  hakim  dan  bukan  pengawasan  terhadap  institusi  Mahkamah  Agung  /Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman sebab dengan kedudukkannya sebagai lembaga Negara “ yang bebas dan merdeka” Mahkamah Agung /Mahkamah Konstitusi tidak boleh  diawasi  oleh  lembaga  Negara  yang  lain.  Mengenai  sifat  mandiri  Komisi  Yudisial sebagaimana  diatur dalam pasal 24B ayat(1) UUD 1945 bahwa “ Komisi Yudisial Bersifat Mandiri ” yang kemudian yang di pertegas didalam UU  No 18 Tahun 2011tentang  Komisi Yudisial  bahwa  “Komisi  Yudisial  dalam  pelaksanaan  wewenangnya  bebas  dari  campur tangan  atau  pengaruh  kekuasaan  lain  “   maka  Mahkamah  Konstitusi  berpendapat  bahwa kemandirian Komisi Yudisial tersebut bersifat kemandirian kelembagaan bukan kemandirian perseorangan  anggota  Komisi  Yudisial[5]. Namun  saja  ada  yang  perlu  kita  pahami  pada rumusan ketentuan pasal 24B ayat(1) UUD 1945 hasil perubahan ketiga  disitu dirumuskan dengan jelas:
komisi  yudisial  bersifat  mandiri  yang  berwenang  megusulkan  pegangkatan  hakim agung dan mempuyai kewenagan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim”
artinya  tugas  pertama  komisi  ini  adalah  megusulkan  pegangkatan  hakim  agung  dan  tugas keduaya  adalah  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat  serta  perilaku hakim,  karena  tugas  pertamaya  dikaitkan  dengan  hakim  agung  dan  tugas  keduaya  dengan hakim saja maka secara harfiah jelas sekali artiya, yaitu Komisi Yudisial bertugas menjaga (preventif)  dan  menegakkan  (korektif  dan  represif)  kehormatan,  keluhuran  martabat  serta perilaku  hakim  di  Indonesia.  Dengan  demikian,  hakim  yang  harus  dijaga  dan  ditegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilakunya mencakup hakim agung, hakim pengadilan umum,  pengadilan  agama,  pengadilan  tata  usaha  negara,  dan  pengadilan  militer  serta termaksud hakim konstitusi[6].
Kalau  UUD  1945  tidak  memisahkan  pengertian  hakim  berdasarkan  ruang  lingkup, maka  semua  hakim  dalam  ranah  kekuasaan  negara  harus  dimaksudkan  sebagai  hakim. Karena kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkungan peradilan, maka tidak tepat mengatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim Tambah lagi, dalam risalah amandemen UUD 1945, tidak pernah disebutkan bahwa hakim konstitusi  tidak  termasuk  dalam  pengertian  hakim.  Artinya,  dengan  tidak  dibahas  dan disebutkan bahwa Hakim Konstitusi masuk dalam ranah pengawasan Komisi  Yudisial  tidak berarti  bahwa  Hakim  Konstitusi  dapat  ditafsirkan  tidak  masuk  dalam  wilayah  pengawasan Komisi Yudisial
1)      Makna Hakim Pada Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945
Pejabat  penegak  hukum  yang  paling  dominan  dalam  pelaksanaan  penegakan hukum ialah hakim. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara  disandarkan  pada  intelektual,  moral  dan  integritas  hakim  terhadap  nilai-nilai keadilan. Kedudukan Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, ia harus benarbenar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Wirjono  Prodjodikoro  berpendapat  bahwa  perbedaan  antara  pengadilan  dan  instansiinstansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara positif  dan  aktif  memperhatikan  dan  melaksanakan  macam  macam  peraturan  hukum yang berlaku dalam suatu Negara .
Istilah  "hakim"  sendiri  berasal  dari  kata  Arab  مك ح  (hakima)  yang  berarti  "aturan, peraturan,  kekuasaan,  pemerintah".  Ia  yang  memutuskan  bagi  pihak  yang  dituntut. Hakim  harus  dihormati  di  ruang  pengadilan  dan  pelanggaran  akan  hal  ini  dapat menyebabkan hukuman. Hakim biasanya mengenakan baju berwarna hitam.
Dalam  pasal  24B  Undang-undang  Dasar  1945  ditegaskan  bahwa  Komisi  Yudisial memiliki  kewenagan  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabatat  serta perilaku hakim[7]. Dalam taksiran pada pasal ini berkaitan dengan makna hakim dalam kalimat “dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku hakim”    dalam  artinya  dalam  Undang-undang  Dasar  1945  tidak  menjelaskan  atau membedakan  hakim  mana  yang  dimaksud  dengan  hakim  dalam  ketentuan  pada  pasal  24B Undang-undang  Dasar  1945  tersebut,  maka  dapat  ditarik  suatu  kesimpulan  bahwa  Komisi Yudisial berhak mengawasi semua hakim sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945, maka  dalam  hal  ini  Komisi  Yudisial  berhak  mengawasi  hakim  yang  ada  dibawah  naugan Mahkamah Agung, hakim Mahkamah Agung dan hakim Mahkamah Konstitusi Kehadiran  Komisi  Yudusial  sangat  diharapakan  karena  mas yarakat  kehilahgan kepercayaan  pada  istitusi  peradilan,  peran  pengawasan  internal  yang  dilakukan  Mahkamah Agung tidak efektif, karena  kerap digunakan sebagai upaya melindungi oknum yang berbuat atas nama semangat korps Keberadaan  Komisi  Yudisial  sebagai  lembaga  Negara  yang  bersifat  penunjang (auxiliary  organ)  terhadap  kekuasaan  kehakiman,  berdasarkan  Undang-undang  Dasar  1945 Komisi  Yudisial  mempuyai  kedudukan  yang  sederajat  dengan  lembaga  Negara  lain  seperti Presiden,  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  dan  lembaga  Negara  lainya.  Komisi  Yudisial  bukan merupakan  pelaku  kekuasaan  kehakiman  tetapi  kewenagan  yang  berhubugan  dengan kekuasan  kehakiman[8]. Wewenang  Komisi  Yudisial  dalam  menjalankan  tugasnya  diatur kembali  dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2011 perubahan atas Undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial dibentuk bersifat independen yang akan melakukan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman yang juga bersifat independen, dengan demikian prinsip indepedensi akan benar-benar di imbangin oleh prinsip akuntabilitas secara rasional dan proposional.
Dengan  kewenagan  yuridis  yang  dimilikinya,Komisi  Yudisial  sesungguhnya memiliki peran vital dalam melahirkan peradilan yang berwibawa. Kehadiranya pun sangat dinantikan  oleh  sebagian  besar  masyarakat,  terbukti  dengan  telah  diterimanya  banyak pengaduan dari berbagai    lapisan masyarakat pada awal pembentukan Komisi Yudisial dari perspektif  ini  sudah  nampak  bahwa  dunia  hukum  akan  berjalan  maksimal  ketika  internal peradilan berbenah dan mereformasi diri Komisi Yudisial dihadapkan pada kemelut dugaan peyimpangan atau pelangaran kode etik  (code  of  conduct)  yang  terjadi  terjadi  di  lembaga  peradilan,  terjadinya  tarik  menarik kebenaran  mengenai  tata  cara  pemanggilan  Hakim  Agung  dalam  pemeriksaan,  hal  ini menunjukkan  adanya  konflik  wewenang  dalam  kelembagaan.  Namun  hal  ini  tidak  akan terjadi  jika  pihak-pihak  yang  terlibat  dalam  konflik  memehami  semangat  dan  substansi reformasi  peradilan  melalui  pembentukan  Komisi  Yudisial.  Suatu  hal  yang  mendasar  yang perlu kita pahami kedudukan Komisi Yudisial setara dan sejajar dengan Mahkamah Agung dan  Mahkamah  Konstitusi  dibagun  dan  dibentuk  diatas  landasan  konstitusi  yang  sama  dan diatur didalam bab yang sama yaitu Bab IX Undang –undang Dasar 1945 pasal 24A, 24B dan 24C
Dalam pasal 13 ayat Undang- undang Nomor 18 Tahun 2011 perubahan atas Undang –undang  Nomor  22  Tahun  2004  tentang  Komisi  Yudisial  diatur  mengenai  kewenangan Komisi Yudisial, Komisi Yudisial memiliki kewengan untuk mengusulkan hakim agung dan ad hoc  di Mahkamh Agung ke pada DPR , menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dan menetapkan kode etikdan pedoman perilaku  hakim serta menjaga  dan  menegakkan  pelaksanaan  kode  etik  dan  pedoman  perilaku  hakim.  Dalam menjaga kehormatan hakim seperti yang diamanatkan Pasal 24B Undang-undang Dasar 1945 kemudian  diperjelas  pada   pasal  20   ayat  (1)   Undang-undang  Nomor  18  tahun  2011 perubahan  atas  Undang-undang  Nomor  22  tahun  2004  tentang  Komisi  Yudisial   mengenai tugas  Komisi  Yudisial  dalam  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat, serta  perilaku  hakim  Komisi  Yudisial  mempuyai  tugas  melakukan  pemantauan  dan pengawasan  terhadap  perilaku  hakim,menerima  laporan  dari  masnyarakat,  melakukan verifikasi,  klarifikasi  dan  investigasi  terhadap  laporan  dugaan  pelanggaran  kode  etik kemudian  memutuskan  benarnya  laporan  dugaan  pelanggaran  kode  etik  setelah  itu  maka Komisi Yudisial akan megambil langkah hukum selanjutnya
2)      Implementasi pasal 24B Undang-undang Dasar 1945 terhadap pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi
Dari berbagai pendapat ahli hukum di atas dapat dimaknai bahwa dalam pengawasan setidaknya ada beberapa hal yang saling terkait yaitu
a)      Lembaga yang melakukan pengawasan,
b)      Tolak  Ukur  melakukan  pengawasan  seperti  peraturan  perundang-undangan  atau rencana kerja.
c)      Pihak/lembaga/badan yang diawasi.
d)      Hasil yang diperoleh dari pengawasan yang telah dilakukan.
Dengan demikian, pengawasan sangat terkait dengan kesempurnaan penyelenggaraan pemerintahan. Hal tersebut ditegaskan secara rinci oleh Irfan Fachruddin yang mengatakan :
“Apabila  dihubungkan  dengan  pengawasan  terhadap  pemerintah,  terlihat  bahwa pengertian  umum  pengawasan  masih  tetap  relepan,  alasannya :
Ø  Pertama,  umumnya sasaran  pengawasan  terhadap  pemerintah  adalah  pemeliharaan  atau  penjagaan  agar Negara  hukum  kesejahteraan  dapat  berjalan  dengan  baik  dan  dapat  pula  membawa kekuasaan  pemerintah  sebagai  penyelenggara  kesejahteraan  masyarakat  kepada pelaksanaan  yang  baik  pula  dan  tetap  pula  pada  batas  kekuasaannya. 
Ø  Kedua,  tolak ukurnya  adalah  hukum  yang  mengatur  dan  membatasi  kekuasaan  dan  tindakan pemerintah dalam bentuk hukum amaterial maupun hukum formil (Rechtmatigheid) serta  manfaatnya  bagi  kesejahteraan  rakyat  (doelmatigheid); 
Ø  Ketiga,  adanya pencocokan  antara  perbuatan  dan  tolak  ukur  yang  telah  ditetapkan. 
Ø  Keempat,  jika terdapat  tanda-tanda  akan  terjadi  penyimpangan  terhadap  tolak  ukur  tersebut dilakukan  tindakan  pencegahan.  Kelima,  apabila  dalam  pencocokkan  menunjukkan telah  terjadi  penyimpangan  dari  tolak  ukur,  kemudian  diadakan  koreksi  melalui tindakan pembatalan, pemulihan terhadap akibat yang ditimbulkan dan mendisplinkan pelaku kekeliruan itu”.
Berpijak   pada   fakta   rendahnya   kepercayaan   publik    terhadap  lembaga pemegang kekuasaan kehakiman tersebut, maka tentu hal ini menjadi tugas berat bagi jajaran kekuasaan kehakiman untuk membangun kembal dihormati masyarakat.  citra    peradilan    menjadi bermartabat dan Tentu   yang   menjadi sorotan terkait dengan citra peradilan adalah aparat peradilan khususnya hakim. Masyarakat   menyandarkan harapan yang sangat besar kepada hakim yang benarbenar   memiliki   integritas dan profesionalisme,    sehingga    tindakan    dan tingkah   lakunya menunjukkan    ketidak  berpihakan    (impartiality),    memiliki integritas moral,  serta pada kemampuannya memberikan putusan yang baik. Keberhasilan seorang hakim dalam menegakkan hukum selain bersandar pada prinsip  rule of the law  dan kemandirian kekuasaan hakim, juga sangat ditentukan    bagaimana integritas    dan  perilakunya   dalam   menjalankan   tugas sehari-hari, baik di dalam persidangan maupun di luar persidangan. Dalam  konstelasi  ketata  negaraan  lahirnya  Komisi  Yudisial  juga  megandung  makna  yang cukup berarti.  Langkah-langkah kontroversial Komisi Yudisial dipandang sebagai  ancaman oleh  oknum-  oknum  dilembaga-lembaga  peradilan,  seperti  Mahkamah  Agung,  akibatnya Komisi  Yudisial  dilawan  oleh  lembaga  yang  merasa  terancam  eksistensinya.  Kewenaagan Komisi  Yudisial  itupun dipangkas  dengan  dikabulkanya  permohonan  uji  yudisial  Undangundang  no  22  tahun 2004 tentang  Komisi  Yudisial  oleh  Mahkamah  Konstitusi.  Putusan Mahkamah Konstitusi nomor  005/PUU-IV/2006  tersebut menjadi tragedi  buruk  bagi keberadaan Komisi Yudisial dalam mengemban amanat sucinya, pemangkasan kewenangan Komisi  Yudisial  oleh  Mahkamah  Konstitusi  mengindenfikasikan  adanya  pertentagan kepentingan,  sehingga  kewenagan  Komisi  Yudisial  mengawasi  perilaku  hakim  Mahkamah  Agung dan Mahkamah Konstitusi sirna.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain . Oleh karena itu, Pengawasan sangat dibutuhkan sebagai fungsi manajerial setelah perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi manajemen, mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi memang mutlak diperlukan. Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa diiringi dengan suatu sistem pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas akan mengakibatkan lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.
SARAN
Sebagai warga negara maupun lembaga pengawas dalam bidang hukum.Erat kaitannya dengan prinsip demokrasi.Oleh karena itu harus turut aktif melakukan tiga hal untuk mewujudkan demokrasi konstitusional,ikut serta dalam proses pemuatan hukum yang aspiratif ( proses of law making ),Ikut menciptakan dan membantu aparat penegak hukum ( Strukture of Law ) agar terciptanya indonesia bernegara hukum yang konstitusinalisme .
















DAFTAR PUSTAKA
Asshidiqie Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, sinar grafika, Jakarta,2010

Asshiddiqie Jimly, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta,2006
Pasal 18 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun 2003 No.98 dan Tambahan LNRI No.4316).
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun 2003 No.98 dan Tambahan LNRI No.4316).

Website :






Sumber : www.jimly.com(KEDUDUKAN_MK-2.doc)

[2] Lihat Pasal 18 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LNRI Tahun 2003 No.98 dan Tambahan LNRI No.4316).
[3] Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 ini selengkapnya berbunyi: “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi”. LNRI Tahun 2003 No.98.
[4] Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 selengkapnya berbunyi: “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu  tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.
[5] Lihat putusan mahkamah konstitusi nomor 005/PUU-IV/2006.

[6] Jimli asshidiqie, konstitusi & konstitusionalisme Indonesia, sinar grafika, Jakarta,2010. 

[7] Pasal 24B Undang-undang Dasar 1945 .

[8] Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Konstitusi Press, Jakarta, hal. 10.

Ditulis Oleh : Berita14 // 08.31
Kategori: