Asuransi merupakan salah satu jenis
perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Sebagai perjanjian, maka ketentuan
syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPdt berlaku juga perjanjian
asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka di
samping ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga
syarat-syarat Khusus yang diatur dalam KUHD. Syarat-syarat sah perjanjian
diatur dalam pasal 1320 KUHPdt. Menurut ketentuan pasal tersebut ada empat
syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat,
objek tertentu, dan kausa yang halal. Sedangkan syarat yang diatur dalam KUHD
adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam pasal 251 KUHD.
1.
Kesepakatan (consensus)
Tertanggung dan penanggung sepakat
mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
a) Benda yang menjadi objek asuransi.
b) Pengalihan risiko dan pembayaran premi.
c) Evenemen dan ganti kerugian
d) Syarat-syarat khusus asuransi
e) Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian antara tertanggung
dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung.
Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian
asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung artimya kedua
belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Penggunaan
jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang. Dalam Pasal 260 KUHD
ditentukan, apabila asuransi diadakan dengan perantaraan seorang makelar maka
polis yang sudah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan hari
setelah perjanjian dibuat. Dalam pasal 5
huruf (a) undang-undang No. 2 Tahun 1992 ditentukan, perusahaan pialang
Asuransi dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung
dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi. Perantara dalam
KUHD disebut makelar, dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 disebut Pialang.
Kesepakatan antara tertanggung dan
penanggung itu dibuat secara bebas, artinya tidak berada di bawah pengaruh,
tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan
syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.2 Tahun 1992 ditentukan
bahwa penutupan asuransi atas objek asuransi harus didasarkan pada kebebasan
memilih penanggung kecuali bagi program Asuransi Sosial. Ketentuan ini dimaksud
untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan
asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung
adalah pihak yang paling berkepentingan atas objek yang diasuransikan, jadi
sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa pengaruh dan tekanan dari
pihak manapun dalam menentukan penanggungnya.
2. Kewenangan (authority)
Kedua pihak tertanggung dan penanggung
wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan
berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif.
Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak
berada di bawah perwakilan (trusteeship), dan
pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai
hubungan sah dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan
milknya sendiri. Sedangkan penanggung adalah pihak yang sah mewakili Perusahaan
Asuransi berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Apabila asuransi yang diadakan
itu untuk kepentingan pihak ketiga maka tertanggung yang mengadakan asuransi
itu mendapat kuasa atau pembenaran dari pihak ketiga yang bersangkutan.
Kewenangan pihak tertanggung dan
penanggung tersebut tidak hanya dalam rangka mengadakan perjanjian asuransi,
melaikan juga dalam hubungan internal di lingkungan Perusahaan Asuransi bagi
penanggung, dan hubungan dengan pihak ketiga bagi tertanggung, misalnya jual
beli objek asuransi, asuransi untuk kepentingan pihak ketiga. Dalam hubungan
dengan perkara asuransi di muka pengadilan, pihka tertanggung dan penanggung
adalah berwenang untuk bertindak mewakili kepentingan pribadinya atau
kepentingan Perusahaan Asuransi.
3. Objek Tertentu (fixed object)
Objek tertentu dalam Perjanjian Asuransi
adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan
yang melekat pada harta kekayaan dapat pula berupa jiwa atau raga manusia.
Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta
kekayaan terdapat pada Perjanjian Asuransi kerugian sedangkan objek tertentu
berupa jiwa atau raga manusia terdapat pada Perjanjian Asuransi jiwa.
Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek asuransi tersebut harus
jelas. Apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa jumlah dan
ukurannya dimana letaknya, apa mereknya, butan mana, berapa nilainya dan
sebagainya. Apabila berupa jiwa atau raga atas nama siapa, berapa umumnya, apa
hubungan keluarganya, di mana alamatnya, dan sebagainya.
Karena yang mengasuransikan objek itu
adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak
langsung dengan objek asuransi itu. Dikatakan ada hubungan langsung apabila
tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga yang menjadi objek
asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya
mempunyai kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan
bahwa dia adalah sebagai pemilik atau mempunyai kepentigan atas objek asuransi.
Apabila tertanggung tidak dapat
membuktikannya, maka akan timbul anggapan bhwa tertanggung tidak mempunyai
kepentingan apa-apa, hal mana mengakibatkan asuransi batal (null and void). Undang-undang tidak
akan membenarkan, tidak akan mengakui orang yang mengadakan Asuransi tetapi
tidak mempunyai kepentingan (interest). Walau
pun orang yang mengadakan asuransi itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan
objek asuransi, dia harus menyebutkan untuk kepentingan siapa asuransi itu
diadakan. Jika tidak demikian maka asuransi itu dianggap tidak ada.
Menurut ketentuan Pasal 599 KUHD, dianggap
tidak mempunyai kepentingan adalah orang yang mengasuransikan benda yang oleh
undang-undang dilarang diperdagangkan, dan kapal yang mengangkut barang yang
dilarang tersebut. Apabila diasuransikan juga, maka asuransi tersebut batal.
4. Kausa yang Halal (legal cause)
Kausa yang halal maksudnya adalah isi
perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Contoh asuransi yang
berkuasa tidak halal adalah mengasuransikan benda yang dilarang undang-undang
untuk diperdagangkan, mengasuransikan benda tetapi tertanggung tidak mempunyai
kepentingan, jadi hanya spekulai yang sama dengan perjudian. Asuransi bukan
perjudian dan pertaruhan.
Berdasarkan kausa yang halal itu, tujuan
yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko
atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi kedua belah
pihak berprestasi tertanggung membayar premi, penanggung menerima peralihan
risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar, maka risiko beralih. Jika premi
tidak dibayar, risiko tidak beralih.
5. Pemberitahuan (notification)
Tertanggung wajib memberitahukan kepada
penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat
mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi
batal. Menurut ketentuan Pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan yang salah, atau
tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang
objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban pemberitahuan itu
berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi pemberatan risiko atas
objek asuransi.
Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUHD
tidak bergantung pada ada itikad baik atau tidak dari tertanggung. Pabila
tertanggung keliru memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga mengakibatkan
batalnya asuransi, kecuali jika tertanggung dan penanggung telah memperjanjikan
lain. Biasanya perjanjian seperti ini dinyatakan dengan tegas dalam polis
dengan kalusula”sudah diketahui”.