Minggu, 02 Februari 2014

Sifat Hukum Acara Pidana

Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH., ada 2 ( dua ) sifat Hukum Acara Pidana di Indonesia, yaitu :

1. Kepentingan masyarakat dan kepentingan orang yang dituntut.

Yang perlu diperhatikan dalam sifat hukum acara pidana ini adalah harus dipandang dari 2 ( dua ) optik kepentingan yang fundamental sifatnya,

Pertama, dari optik kepentingan masyarakat itu sendiri dalam artian bahwa kepentingan masyarakat harus dilindungi yang mana hal ini merupakan sifat hukum acara pidana sebagai bagian dari Hukum Publik ( Public Law ). Karena bertugas melindungi kepentingan masyarakat maka konsekuensi logisnya haruslah diambil tindakan tegas bagi seorang yang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana sesuai dengan kadar kesalahannya ( asas equality of law ) yang mana tindakan tegas dimaksudkan sebagai sarana guna keamanan, ketentraman dan kedamaian hidup bermasyarakat.

Kedua, dari aspek kepentingan orang yang dituntut dalam artian hak - hak dari orang yang dituntut dipenuhi secara wajar sesuai ketentuan hukum positif dalam konteks negara hukum ( rechtsstaat ) maka oleh karena itu orang tersebut haruslah mendapatkan perlakuan secara adil sedemikian rupa, sehingga jangan sampai ditemukan seorang yang tidak melakukan tindak pidana tidak dijatuhi hukuman atau apabila orang tersebut memang telah melakukan tindak pidana, jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat yang tidak seimbang dan sepadan dengan kadar kesalahannya.


2. Sistem Inquisitoir dan Sistem Accusatoir

Pada dasarnya dalam pandangan doktrina ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal adanya 2 ( dua ) sistem dan proses pemeriksaan dari orang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana.

Pertama, sistem "accusatoir" dimana terhadap seorang terdakwa di dalam proses dan prosedur serta sistem pemeriksaannya, terdakwa dianggap sebagai subjek semata - mata ketika berhadapan dengan pihak penyidik ( kepolisian dan kejaksaan ) sehingga kedua belah pihak tersebut masing - masing mempunyai suatu hak yang sama nilainya, dan HAKIM berada diatas kedua belah pihak guna menyelesaikan perkara pidana tersebut sesuai dengan Hukum Pidana yang berlaku ( hukum positif ).

Kedua, sistem "inquisitoir" dimana sistem periksaan yang menganggap terdakwa sebagai suatu objek yang harus diperiksa karena adanya suatu dakwaan. Pemeriksaan ini dapat berupa pendengaran si tersangka tentang dirinya sendiri atau didapat melalui beberapa keterangan saksi. Sehingga lebih menekankan pada pengakuan terdakwa/tersangka, dan mengakibatkan adanya praktek penganiayaan terhadap tersangka untuk mendapatkan pengakuannya.

Sistem yang diterapkan dalam praktek pada kenyataannya sulit sekali untuk diterapkan salah satu sistem secara tegas dan berdiri sendiri.

Menurut Prof. Oemar Seno Adji, SH., sebagai berikut :

"Kadang - kadang diambillah suatu kesimpulan, bahwa tidak mungkin kita mengatakan bahwa Hukum Acara Pidana dalam suatu negara itu menganut sistem yang murni accusitoir dan murni inqusitoir, melainkan mengandung suatu campuran dari keduanya, khususnya apabila dikemukakan adanya karakteristik tertentu untuk membeda - bedakan kedua sistem tersebut. Misalnya dipergunakan sebagai suatu kriterium adanya suatu pemeriksaan yang terbuka ataupun tertutup terhadap orang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana. Dengan sendirinya menimbulkan stelsel campuran, karena umumnya dalam pemeriksaan pendahuluan kita menerima suatu pemeriksaan yang tidak terbuka sifatnyam sedangkan pemeriksaan di persidangan adalah terbuka unutk umum. Oleh karena itu, identifikasi suatu sistem accusatoir ataupun inquisitoir dengan sifat demokratis ataupun sifat non - demokratis dari hukum acara pidana yang berlaku tidak dapat dibenarkan".

Ditulis Oleh : Berita14 // 12.40
Kategori:

0 comments: