Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH., ada 2 ( dua ) sifat Hukum Acara Pidana di Indonesia, yaitu :
1. Kepentingan masyarakat dan kepentingan orang yang dituntut.
Yang
perlu diperhatikan dalam sifat hukum acara pidana ini adalah harus
dipandang dari 2 ( dua ) optik kepentingan yang fundamental sifatnya,
Pertama,
dari optik kepentingan masyarakat itu sendiri dalam artian bahwa
kepentingan masyarakat harus dilindungi yang mana hal ini merupakan
sifat hukum acara pidana sebagai bagian dari Hukum Publik ( Public Law
). Karena bertugas melindungi kepentingan masyarakat maka konsekuensi
logisnya haruslah diambil tindakan tegas bagi seorang yang telah
melanggar suatu peraturan hukum pidana sesuai dengan kadar kesalahannya (
asas equality of law ) yang mana tindakan tegas dimaksudkan sebagai
sarana guna keamanan, ketentraman dan kedamaian hidup bermasyarakat.
Kedua,
dari aspek kepentingan orang yang dituntut dalam artian hak - hak dari
orang yang dituntut dipenuhi secara wajar sesuai ketentuan hukum positif
dalam konteks negara hukum ( rechtsstaat ) maka oleh karena itu orang
tersebut haruslah mendapatkan perlakuan secara adil sedemikian rupa,
sehingga jangan sampai ditemukan seorang yang tidak melakukan tindak
pidana tidak dijatuhi hukuman atau apabila orang tersebut memang telah
melakukan tindak pidana, jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu
berat yang tidak seimbang dan sepadan dengan kadar kesalahannya.
2. Sistem Inquisitoir dan Sistem Accusatoir
Pada dasarnya dalam
pandangan doktrina ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal adanya 2 ( dua )
sistem dan proses pemeriksaan dari orang yang diduga telah melakukan
suatu tindak pidana.
Pertama, sistem
"accusatoir" dimana terhadap seorang terdakwa di dalam proses dan
prosedur serta sistem pemeriksaannya, terdakwa dianggap sebagai subjek
semata - mata ketika berhadapan dengan pihak penyidik ( kepolisian dan
kejaksaan ) sehingga kedua belah pihak tersebut masing - masing
mempunyai suatu hak yang sama nilainya, dan HAKIM berada diatas kedua
belah pihak guna menyelesaikan perkara pidana tersebut sesuai dengan
Hukum Pidana yang berlaku ( hukum positif ).
Kedua, sistem
"inquisitoir" dimana sistem periksaan yang menganggap terdakwa sebagai
suatu objek yang harus diperiksa karena adanya suatu dakwaan.
Pemeriksaan ini dapat berupa pendengaran si tersangka tentang dirinya
sendiri atau didapat melalui beberapa keterangan saksi. Sehingga lebih
menekankan pada pengakuan terdakwa/tersangka, dan mengakibatkan adanya
praktek penganiayaan terhadap tersangka untuk mendapatkan pengakuannya.
Sistem yang diterapkan
dalam praktek pada kenyataannya sulit sekali untuk diterapkan salah satu
sistem secara tegas dan berdiri sendiri.
Menurut Prof. Oemar Seno Adji, SH., sebagai berikut :
"Kadang - kadang
diambillah suatu kesimpulan, bahwa tidak mungkin kita mengatakan bahwa
Hukum Acara Pidana dalam suatu negara itu menganut sistem yang murni
accusitoir dan murni inqusitoir, melainkan mengandung suatu campuran
dari keduanya, khususnya apabila dikemukakan adanya karakteristik
tertentu untuk membeda - bedakan kedua sistem tersebut. Misalnya
dipergunakan sebagai suatu kriterium adanya suatu pemeriksaan yang
terbuka ataupun tertutup terhadap orang yang dituduh melakukan suatu
tindak pidana. Dengan sendirinya menimbulkan stelsel campuran, karena
umumnya dalam pemeriksaan pendahuluan kita menerima suatu pemeriksaan
yang tidak terbuka sifatnyam sedangkan pemeriksaan di persidangan adalah
terbuka unutk umum. Oleh karena itu, identifikasi suatu sistem
accusatoir ataupun inquisitoir dengan sifat demokratis ataupun sifat non
- demokratis dari hukum acara pidana yang berlaku tidak dapat
dibenarkan".
0 comments:
Posting Komentar