Tampilkan postingan dengan label Hukum Dagang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Dagang. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Januari 2014

Perbedaan Bank Konvensional Dengan Bank Syariah



Bank syariah adalah bank yang beroperasi berdasarkan syariah atau prinsip agama Islam. Sesuai dengan prinsip Islam yang melarang sistem bunga atau riba yang memberatkan, maka bank syariah beroperasi berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas bisnis atas dasar kesetaraan dan keadilan.
Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, antara lain :
1. Perbedaan Falsafah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalu bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound interest dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak seperti efek bola salju pada cerita di awal artikel ini. Sangat menguntungkan saya tapi berakibat fatal untuk banknya. Riba, sangat berpotensi untuk mengakibatkan keuntungan besar disuatu pihak namun kerugian besar dipihak lain, atau malah ke dua-duanya.
2. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.
Sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau investasi tadi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha semakin tingi maka semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada dan nasabahnya. Namun jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana nasabah di bank di investasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya.
Dengan demikian sistem bagi hasil membuat besar kecilnya keuntungan yang diterima nasabah mengikuti besar kecilnya keuntungan bank syariah. Semakin besar keuntungan bank syariah semakin besar pula keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional, keuntungan banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar sejumlah prosentase dari dana yang disimpannya saja.
3. Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah)
4. Struktur Organisasi
Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sangsi.
Bagaimana Nasabah Mendapat Keuntungan
Jika bank konvensional membayar bunga kepada nasabahnya, maka bank syariah membayar bagi hasil keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Kesepakatan bagi hasil ini ditetapkan dengan suatu angka ratio bagi hasil atau nisbah. Nisbah antara bank dengan nasabahnya ditentukan di awal, misalnya ditentukan porsi masing-masing pihak 60:40, yang berarti atas hasil usaha yang diperolah akan didisitribusikan sebesar 60% bagi nasabah dan 40% bagi bank. Angka nisbah ini dengan mudah Anda dapatkan informasinya dengan bertanya ke customer service atau datang langsung dan melihat papan display “ Perhitugan dan Distribusi Bagi Hasil” yang ada di cabang bank syariah. (Kusuma Asda Sandra)

Syarat syarat sah Asuransi menurut hukum positif Indonesia

Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Sebagai perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPdt berlaku juga perjanjian asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka di samping ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syarat-syarat  Khusus yang diatur dalam KUHD. Syarat-syarat sah perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHPdt. Menurut ketentuan pasal tersebut ada empat syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal. Sedangkan syarat yang diatur dalam KUHD adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam pasal 251 KUHD.
1.     Kesepakatan (consensus)
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
a)     Benda yang menjadi objek asuransi.
b)     Pengalihan risiko dan pembayaran premi.
c)      Evenemen dan ganti kerugian
d)     Syarat-syarat khusus asuransi
e)     Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung artimya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Penggunaan jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang. Dalam Pasal 260 KUHD ditentukan, apabila asuransi diadakan dengan perantaraan seorang makelar maka polis yang sudah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan hari setelah perjanjian dibuat. Dalam pasal 5 huruf (a) undang-undang No. 2 Tahun 1992 ditentukan, perusahaan pialang Asuransi dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi. Perantara dalam KUHD disebut makelar, dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 disebut Pialang.
Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung itu dibuat secara bebas, artinya tidak berada di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.2 Tahun 1992 ditentukan bahwa penutupan asuransi atas objek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih penanggung kecuali bagi program Asuransi Sosial. Ketentuan ini dimaksud untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas objek yang diasuransikan, jadi sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dalam menentukan penanggungnya.
2.     Kewenangan (authority)
Kedua pihak tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah perwakilan (trusteeship), dan pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan sah dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan milknya sendiri. Sedangkan penanggung adalah pihak yang sah mewakili Perusahaan Asuransi berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Apabila asuransi yang diadakan itu untuk kepentingan pihak ketiga maka tertanggung yang mengadakan asuransi itu mendapat kuasa atau pembenaran dari pihak ketiga yang bersangkutan.
Kewenangan pihak tertanggung dan penanggung tersebut tidak hanya dalam rangka mengadakan perjanjian asuransi, melaikan juga dalam hubungan internal di lingkungan Perusahaan Asuransi bagi penanggung, dan hubungan dengan pihak ketiga bagi tertanggung, misalnya jual beli objek asuransi, asuransi untuk kepentingan pihak ketiga. Dalam hubungan dengan perkara asuransi di muka pengadilan, pihka tertanggung dan penanggung adalah berwenang untuk bertindak mewakili kepentingan pribadinya atau kepentingan Perusahaan Asuransi.
3.     Objek Tertentu (fixed object)
Objek tertentu dalam Perjanjian Asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan dapat pula berupa jiwa atau raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada Perjanjian Asuransi kerugian sedangkan objek tertentu berupa jiwa atau raga manusia terdapat pada Perjanjian Asuransi jiwa. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek asuransi tersebut harus jelas. Apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa jumlah dan ukurannya dimana letaknya, apa mereknya, butan mana, berapa nilainya dan sebagainya. Apabila berupa jiwa atau raga atas nama siapa, berapa umumnya, apa hubungan keluarganya, di mana alamatnya, dan sebagainya.
Karena yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi itu. Dikatakan ada hubungan langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga yang menjadi objek asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya mempunyai kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa dia adalah sebagai pemilik atau mempunyai kepentigan atas objek asuransi.
Apabila tertanggung tidak dapat membuktikannya, maka akan timbul anggapan bhwa tertanggung tidak mempunyai kepentingan apa-apa, hal mana mengakibatkan asuransi batal (null and void). Undang-undang tidak akan membenarkan, tidak akan mengakui orang yang mengadakan Asuransi tetapi tidak mempunyai kepentingan (interest). Walau pun orang yang mengadakan asuransi itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan objek asuransi, dia harus menyebutkan untuk kepentingan siapa asuransi itu diadakan. Jika tidak demikian maka asuransi itu dianggap tidak ada.
Menurut ketentuan Pasal 599 KUHD, dianggap tidak mempunyai kepentingan adalah orang yang mengasuransikan benda yang oleh undang-undang dilarang diperdagangkan, dan kapal yang mengangkut barang yang dilarang tersebut. Apabila diasuransikan juga, maka asuransi tersebut batal.

4.     Kausa yang Halal (legal cause)
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Contoh asuransi yang berkuasa tidak halal adalah mengasuransikan benda yang dilarang undang-undang untuk diperdagangkan, mengasuransikan benda tetapi tertanggung tidak mempunyai kepentingan, jadi hanya spekulai yang sama dengan perjudian. Asuransi bukan perjudian dan pertaruhan.
Berdasarkan kausa yang halal itu, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi kedua belah pihak berprestasi tertanggung membayar premi, penanggung menerima peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar, maka risiko beralih. Jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.
5.     Pemberitahuan (notification)
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Menurut ketentuan Pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan yang salah, atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi.
Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUHD tidak bergantung pada ada itikad baik atau tidak dari tertanggung. Pabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga mengakibatkan batalnya asuransi, kecuali jika tertanggung dan penanggung telah memperjanjikan lain. Biasanya perjanjian seperti ini dinyatakan dengan tegas dalam polis dengan kalusula”sudah diketahui”.