Sabtu, 17 Agustus 2013

Tinjauan Kriminologis Terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri

Ditulis oleh Ganda Putra Marbun, S.H.


Tinjauan Kriminologis Terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri


Pendahuluan
Main hakin sendiri merupakan suatu tindak pidana yaitu berbuat sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dianggap bersalah karena melakukan suatu kejahatan. Orang yang melakukan suatu tindak pidana dinamakan penjahat (criminal) merupakan objek kriminologi terutama dalam pembicaraan ini tentang etiologi kriminal yang menganalisis sebab-sebab berbuat jahat. Main hakin sendiri terjadi karena keretakan hubungan antara penjahat dan korban yang tidak segera dipecahkan atau apabila telah dipecahkan dengan hasil yang dirasakan tidak adil bagi korban atau keluarga korban sehingga tidak dapat mengembalikan hubungan baik antara pembuat korban dan korban dan/atau keluarga korban. Karena korban dan/atau korban merasa kepentingannya dan hak-haknya diinjak-injak bahkan dihancurkan oleh pembuat korban maka korban kerkewajiban untuk mempertahankan kepentingannya dan hak-haknya terhadap pebuat korban secara langsung. Korban dan/atau keluarga korban atau masyarakat dalam mempertahankan kepentingan dan hak-haknya untuk mengambil kembali harta benda miliknya dari pembuat korban secara langsung dengan jalan kekerasan bahkan mungkin lebih kerasa dan lebih kejam daripada cara yang digunakan oleh pembuat korban untuk mengambil hak milik korban. Apabila terjadi demikian maka berarti terdapat pergeseran yang semula merupakan korban berubah menjadi pembuat korban dan sebaliknya yang semula pembuat korban menjadi korban. Bilamana terjadi siklus yang demikian terus menerus maka anggota masyarakat selalu durinsung keresahan dan ketakutan. Oleh karena itu perlu segera mendapat perhatian dan solusinya. Solusinya yang dirasakan adil oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
B. Permasalahan
Main hakim sendiri merupakan pengejawantahan balas dendam yang turun temurun oleh korban dan/atau keluarga korban kepada pembuat korban. Guna menghentikan balas dendam yang turun temurun tersebut maka kepala kelompok/komune/masyarakat sederhana yang anggota kelompoknya tersebut jahat mengumpulkan harta benda milik anggota masyarakat untuk memperbaiki atau mengganti rugi kerusakan atau penderitaan anggota kelompok masyarakat yang menjadi korban. Harta benda sebagai ganti kerugian oleh masyarakat yang berbuat jahat disebut restitusi digunakan untuk kepentingan korban dan/atau keluarganya serta untuk kepentingan masyarakat atau kepala kelompok.
C. Pembahasan
Dalam perkembangan hukum pidana, selanjutnya restitusi seluruhnya digunakan untuk kepentingan masyarakat sehingga korban dan/atau keluarga korban tidak mendapat bagian sama sekali, karena terjadi perubahan pengertian kejahatan dari pelanggaran melawan individu menjadi pelanggaran melawan negara. Perbuatan tersebut sebagai awal perbedaan dan pemisahan antara kesalahan perdata (Tort) dan kesalahan pidana. Kesalahan perdata adalah hubungan antar pribadi termasuk hubungan antara kejahatan dan korbannya, sedangkan kesalahan pidana merupakan hubungan antara perbuatan jahat dan perbuatannya hal tersebut dikemukakan oleh Schafer.
Selanjutnya Schafer menambahkan pendapatnya bahwa dengan pandangan yang berubah itu maka korban kejahatan dikeluarkan dari pengertian hukum pidana. Karena hak korban untuk balas dendam telah diambil alih oleh negara maka seharusnya negara memegang teguh amanat yang dipercayakan kepada negara untuk membalas denda kepada pembuat kejahatan. Negara dalam melaksanakan amanat masyarakat korban telah diatur secara abstrak dan rinci dalam hukum pidana baik hukum pidana substansi maupun hukum pidana formal dengan asumsi bahwa pembuat kejahatan dijatuhi pidana setimpal dengan kesalahannya sehingga masyarakat korban merasakan kepuasan atas dipidananya pembuat kejahatan. Misalnya Code Hammurabi yang dianggap peraturan paling kuno telah mengatur restitusi antara lain berisi suatu perintah kepada pembuat kejahatan membayar kembali kepada korban dan/atau keluarga korban sebanyak tiga puluh kali lipat dari jumlah kerugian yang diderita oleh korban. Hukum Musa kira-kira abad ke-13 Sebelum Masehi antara lain mengatur tentang pencurian seerkor sapi jantan, pencurinya harus membayar lima kali dari jumlah kerugian korban pencurian. Hukum Romawi Kuno pada kira-kira abad ke-8 Sebelum Masehi antara lain mengatur tentang perampokan, bahwa perampok harus membayar empat kali dari jumlah barang-barang yang dirampok dari korban. Perkembangan selanjutnya untuk menghindari balas dendam atau main hakim sendiri dengan formula “an eye for an eye and a tooth for a tooth”
Kaitannya dengan masalah restitusi Karmen berpandapat bahwa di dalam masyarakat terdapat perbedaan kelas-kelas dengan tajam, oleh karena itu dapat dikatakan pelaksanaan restitusi hanya menguntungkan kelas lebih atas. Apabila dalam suatu kasus kejahatan pihak yang bersalah memiliki kekuasaan cukup maka untuk restitusi dari pihak kelas sosial lebih rendah sulit berhasil tuntutannya sesuai dengan haknya. Sebaliknya apabila yang bersalah kelas sosial lebih rendah daripada korbannya maka tuntutan restitusinya dapat dilaksanakan sesuai dengan haknya. Hal ini berarti restitsi berfungsi si kaya makin kaya dan si miskin main miskin.
Menurut pendapat Karmen bahwa akibat penyalahgunaan pembayaran restitusi tersebut maka pada abad ke-12 terjadi perubahan besar dalam menangani perkara kejahatan yang berakibat merugikan korban secara pribadi dan keluarganya. Perluasan kepentingan negara terhadap perkara kejahatan di topang oleh kelahiran konsep “tidak berguna lagi kejahatan dipertimbangkan sebagai kekejaman menyerang pribadi korban yang seharusnya dibalas oleh kekejaman juga”. Kemudian melahirkan konsep “tuntutan pidana denda guna memperbaiki keseimbangan masyarakat yang merupakan hak negara”. Konsep selanjutnya “melakukan kejahatan berarti melawan negara”. Konsekuensinya memberantas kejahatan menjadi kewajiban negara dan restitusi dengan nama pidana denda menjadi hak negara, dan penjahat tidak wajib membayar restitusi kepada korban .
Secara teoritik, konsep hukum pidana baru yang ditopang oleh dasar pembedaan antara hukum pidana dan hukum perdata mempunyai titik berat yang berbeda. Pembedaan titik berat dimaksudkan antara lain:
Menurut Voigt,
Mendasarkan pada Law of the Twelve Tables memberdakan objek sanksinya yaitu perbuatan menyerang orang merupakan hukum pidana, sedang perbuatan menyerang harta benda merupakan hukum perdata.
Menurut Kohler dan Ziebart,
Menegaskan bahwa hukum pidana berarti pembuat harus memberikan perbaikan kepada korban juga memberikan pembayaran uang kepada negara (Schafer).
Menurut Mommsen,
Segala sesuatu yang ditentukan oleh negara merupakan hukum pidana dan secara moral wajib ditaati. Sanksi bersifat pembalasan merupakan hukum pidna dan sanksi bersifat perbaikan merupakan hukum perdata.
Pakar hukum pidana menganut teori klasik yaitu perbuatan jahat melawan negara merupakan hukum pidana, sedangkan tort adalah perlawanan terhadap hak-hak perseorangan merupakan hukum perdata. Sejalan dengan itu Schafer mengemukakan bahwa yang dimaksud kejahatan hanyalah perbuatan dan penjahatnya, tidak termasuk korbannya, karena hubungan antara korban dan kejahatan termasuk penjahatnya lebih bersifat perdata daripada pidana.
Masing-masing bidang hukum tumbuh berkembang sendiri mengenai peraturannya, adminitrasi peradilannya. Misalnya dalam hukum pidana ukuran pembuktian dibutuhkan lebih tinggi, karena itu berlaku adigum “suatu kesalahan pembuat kejahatan yang diragukan harus ditolak”. Kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan finansial perseorangan. Oleh karena itu apabila ternyata korban menderita suatu kerugian finansial perbuatan pidananya selesai. Dalam praktiknya tuntutan ganti rugi korban dalam proses hukum perdata selalu ditolak sehingga korban dan/atau keluarganya tidak pernah mendapat restitusi. Oleh karena itu korban dan keluarganya harus puas atas perbuatan kejahatan telah dijatuhi pidana oleh negara.
Perkembangan dan kemajuan kriminologi pada pertengahan abad keduapuluh dalam kepustakaan viktimologi ketidakseimbangan perlakuan terhadap pembuat kejahatan dan korbannya tidak sejalan dengan pandangan baru bahwa keadilan menghendaki keseimbangan perhatian dan perlakuan terhadap masnusia apapun status mereka dalam masyarakat yang beradab. Status manusia dalam hukum pidana baik sebagai pembuat kejahatan maupun sebagai korbannya tertutama mengenai hak dan kewajiban mereka masing-masing harus seimbang. Dalam hal ini Reiff menyarankan agar restitusi yang telah diambil alih oleh negara, wajar dikembalikan demi memuaskan rasa balas dendam korban.
Perubahan dan perkembangan pandangan masyarakat terhadap perhatian dan perlakuan kepada pembuat kejahatan dan kepada para korbannya pada awalnya muncul atas pengaruh kriminologi hubungan yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi antara pembuat dan korban, hal tersebut dikemukakan oleh Separovic. Para pakar kriminologi, penologi dan viktimologi seharusnya memberikan perhatian dan perlakuan kepada pembuat kejahatan dan korbannya dengan seimbang baik mengenai hak maupun kewajiban agar dapat mencerminkan rasa tanggung jawab atas peran sertanya dalam terjadinya kejahatan.
Menurut Iswanto hak dan kewajiban pembuat kejahatan dan korban memang berbeda, bahkan bertentangan. Salah satu pemecahan teoritik yaitu mengintegrasikan aspek kriminologi, aspek penologi dan aspek viktimologi. Pendapat Reiff menyatakan bahwa hukum pidana modern pada pertengahan kedua abad keduapuluh yang baru lalu bahwa asas pemidanaan harus menghilangkan sifat pembalasan, dan sebaliknya justru berkewajiban mempersiapkan pembuat kejahatan agar dapat menjadi warga masyarakat yang baik. Berbeda bagi korban kejahatan mengharapkan agar pidana bermanfaat langsung, mengembalikan dirinya seperti dalam kondisi sebelum menjadi korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para kriminolog dan viktimolog menghendaki agar suatu kejahatan dipertimbangkan dari aspek pembuat kejahatan dan aspek korban dengan seimbang. Apabila hukum pidana mengintroduksi pendapat tersebut maka masalah pokok hukum pidana terdiri atas perbuatan melawan hukum, pertanggungjawaban dalam hukum pidana, dan korban. Jadi hukum pidana bukan criminal-oriented, tetapi seharusnya criminal- victim oriented, sehingga hukum pidana mengkaji obyeknya dengan tepat, lengkap, dan kejahatan dapat dijelaskan lebih baik serta sesuai dengan realitas. Bilamana maksud ini memperoleh tanggapan baik dari pakar hukum pidana, maka hukum pidana akan lebih hidup dan segar atas jasa sumbangan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di luar disiplin hukum khususnya kriminologi dan viktimologi sehingga hukum pidana dirasakan adil oleh anggota masyarakat beradab.
Dikemukakan oleh Soebagjo dan Supriatna, hukum pidana yang sekarang berlaku belum mengatur secara seimbang antara pembuat kejahatan dan korban, sehingga mengakibatkan ketidakpuasan keadilan bagi anggota masyarakat terutama yang menjadi korban dan keluarganya, apabila dibiarkan dapat menggoncangkan masyarakat seperti yang sedang kita alami bersama. Hukum pidana yang demikian itu tidak akan mencapai perdamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.
D. Penutup.
Sebagaimana telah dikemukakan pada pendahuluan makalah ini bahwa “main hakim sendiri” merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh korban kepada pembuat kejahatan. Strategi dasar penanggulangan tindak pidana main hakim sendiri adalah tidak berbeda dengan penanggulangan tindak pidana pada umumnya yaitu meniadakan faktor-faktor penyebab atau kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan.
Dalam mengadapi tindakan main hakim sendiri maka dapat disarankan pemecahan sebagai berikut :
Konsiliasi antara elite-politik
Peningkatan kesadaran hukum bagi aparat birokrasi pada semua lapisan birokrat baik pada Lembaga Tertinggi maupun pada Lembaga Tinggi Negara-Lembaga Tinggi Negara termasuk para penegak hukum.
Supremasi hukum perlu segera dilaksanakan.
Hujatan dan penyudutan TNI perlu dihentikan karena TNI sangat dibutuhkan untuk mempertahankan keamanan, kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Para Koruptor baik pada Era Order Baru maupun pada era Reformasi diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Usaha keluar dari krisis ekonomi yang telah berjalan 3 tahun sehingga dapat menciptakan lapangan kerja, mengurani pengangguran dan peningkatan standar hidup masyarakat.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia oleh karena itu pendidikan perlu mendpat prioritas.
Perlakuan yang sama kepada semua warga negara Indonesia pada semua sektor kehidupan.
Demokratisasi, keterbukaan, keadilan benar-benar dilaksanakan dengan konsekuen.
Hukum pidana hendaknya berorientasi pada pembuat kejahatan-korban (Victim-criminal oriented)


DAFTAR PUSTAKA
Iswanto, 1995, Restitusi Kepada Korban Mati atau Luka Berat Sebagai Syarat Pidana Bersyarat pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan, sebuah disertasi di UGM.
Karmen, Andrew, 1984, Crime, Victims An Introduction to Victimologi, Books/Cole Publishing Company Monterey, California.
Reiff, Robert, 1979, The Invisible Victim. The Criminal Justice Systems Forgotten Responsibility, Basic Books Inc. Publishers, New York.
Schafer, Stephen, 1968, The Victim and his Criminal a study in Functional Responsibility, in New York and simultaneously in Toronto, Canada, by Random House of Canada Limited.
Separovic, Paul Zvonimer, 1985, Victimology studies of Victims, Publishers “Zagreb”, Samabor Novaki bb Prauni Fakultet, Zagreb.
Soebagjo M, dan Slamet Supriatna, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, Penerbit Akademika Pressindo CV., Jakarta.
United Nations, 1988, United Nations Action in The Field of Human Rights, New York, ISBN 92-1-154067-7
Walklate, Sandra, 1989, Victimology the Victim and Criminal Justice Process, First Published by the Academic Division of Unwin Heyman Ltd., 15/17 Braad Wick Street, London W. IV.IFPP. UK.
1 Iswanto, 2000. Kecenderungan Masyarakat Main Hakim Sendiri (Ditinjau dari Aspek Kriminologi-Viktimologi). Makalah disampaikan dalam Seminar Main Hakim Sendiri oleh Masyarakat. Diselenggarakan atas Kerjasama UBSOED-POLWIL-PWI Perwakilan Banyumas. Purwokerto, 05 Agustus 2000. hal. 1
sumber : http://kriminologihukum.blogspot.com

Ditulis Oleh : Berita14 // 13.52
Kategori:

0 comments: