WITIHAMA FBC-Sejak dahulu masyarakat Witihama telah mengenal pertanian dengan sistem tumpangsari. Sistem ini bertahan sedemikian lama dan sanggup menghidupi masyarakat setempat dari generasi ke generasi.
Namun secara ekonomi, sistem tanam tumpangsari tampaknya sungguh tak menjanjikan. Di samping harga hasil pertanian yang sungguh tak menjanjikan, hasil panen pun hanya habis untuk konsumsi sehari-hari guna bertahan dalam semusim seraya menyambut musim berikutnya.Kalaupun ada sedikit kelebihan, itu akan habis untuk sekadar barter ikan asin.
Masyarakat Witihama dan sekitarnya sebenarnya telah menjalani kehidupan seperti itu sejak lama. Ada diantaranya yang tak sanggup bertahan dan akhirnya Negeri Jiran Malaysia menjadi tujuan alternatif yang tak terbantahkan.
Kehidupan yang agak berubah ke arah yang lebih baik secara material dari sementara orang, memancing yang lainnya untuk menjalani kehidupan yang lebih baik pula.
Ongkos pendidikan yang tinggi dan tak terjangkau jika hanya mengandalkan hasil tani untuk mengenyam bangku sekolah apalagi kuliah, membuat beberapa pemuda lebih memilih putus sekolah dan ‘upacara’ selanjutnya dapat diterka, ke Malaysia atau kemana pun juga yang dapat menjanjikan kehidupan yang lebih baik secara material.
Naluri sebagai manusia yang ingin hidup lebih enak, mulai menjangkiti semua orang, yang pada akhirnya menjangkiti pula sistem pertanian yang sudah bertahan dari zaman ke zaman bahkan merupakan salah satu warisan bersejarah di tanah ini.
Manusia memang harus suka dengan perubahan namun tentu saja yang dikehendaki adalah perubahan ke arah yang lebih baik, bukan asal berubah. Fakta yang ada menunjukkan, keinginan hidup enak dengan mendapatkan uang secara instan, telah mematikan rasa akan warisan leluhur yang telah menghidupi begitu banyak generasi.
Warga tampaknya tak lagi doyan atau lebih tepatnya tak mau susahkan diri dengan ‘wata pun’a’ maupun ‘wata kenae’ (Makanan berbahan dasar jagung lokal) atau ‘uwe senerane’ (makanan berbahan dasar ubi kayu/singkong), tapi sibuk menunggu kapan raskin alias beras miskin akan tiba.
Janganlah heran jika kebanyakan pemudi di kampung halaman sudah tak tahu bagaimana caranya ‘Gae Wata’ Hal ini tentu wajar saja, manakala tak sedikit anak muda putus sekolah zaman sekarang yang sudah tak hafal lagi jalan ke kebunnya sendiri.
Jadi agak aneh juga kalau tak mengharapkan sekadar raskin. Dan, agar lebih cepat dapat duit, mau tak mau, sistem pertanian tumpangsari warisan itu disulap menjadi kebun mete. Karena bagaimana pun juga, untuk sementara ini, jambu mete cukup menjanjikan untuk mendatangkan sesen dua.
Hal ini dapat dengan mudah disaksikan di sejumlah areal kebun yang membentang dari lereng Ile Boleng, di tengah sejumlah kampung hingga tepi laut.
Namun apa yang terjadi akhir-akhir ini? Fakta menunjukkan bahwa di kebun mana saja tempat jambu mete ditanam, tak ada yang lain yang bisa tumbuh selain jambu mete. Jangankan tanaman yang dapat dikonsumsi, bahkan rumput pun tampak meranggas.
Tak sedikit petani yang mengeluhkan hal ini. ”Sekarang tidak bisa tanam jagung lagi. Kalau mau tanam jagung, tempat ini harus dibiarkan jadi hutan (nure) selama tiga atau empat tahun,” ucap Sabon salah seorang warga yang mengerjakan kebunnya di kawasan Kebun Arak sekitar Lereng Gunung Boleng.
Apa yang dikeluhkan Sabon cukup merata bagi sejumlah petani. Merekapada akhirnya menyadari bahwa jambu mete hanya menjanjikan kesenangan sesaat dengan harga pasaran yang cukup tinggi.
Namun setelah itu, rakusnya tanaman ini terhadap humus tanah, membuat kebun menjadi sedemikian kurus, tak dapat ditanami tanaman lain dan yang tersisa hanyalah kerikil yang bertebaran di seantero kebun. ”Butuh beberapa tahun untuk kembalikan kesuburan tanah ini,” ungkap petani lainnya.
Belum lagi musim yang lebih banyak kurang bersahabat dan harga pun tak selamanya bagus. Justru akhir-akhir ini harga pun makin banyak dikeluhkan. Begitu banyak kerugian yang diderita akibat perubahan sistem tanam ini. Karena hutan yang berselang seling membuat hama tikus kian meriah berpesta pora atas hasil tani berupa jagung yang terjebak di tengah nure.
Mengapa? Karena ada sementara petani yang enggan menanam jambu mete sementara yang lainnya tetap berkeras menanam tanaman yang kini berubah jadi petaka itu.
Kebijakan raskin tentulah bagus mengingat tak sedikit kesulitan yang dihadapi petani dalam mempertahankan hidupnya. Namun jika jiwa mandiri petani tergerus oleh mental enak dan ingin mendapatkan uang dengan cara instan, tak ubahnya suatu tindakan bunuh diri pelan-pelan, karena ketika disadari, uang yang diperoleh dari hasil timbang jambu mete itu tak sanggup memberikan hidup kepada petani dan keluarganya dalam semusim.
Kita belum berbicara lebih jauh, soal beratnya tanggung jawab soal kewajiban adat yang harus dijalani, terima atau tidak terima. (bkg)
- See more at: http://www.floresbangkit.com/2013/06/prahara-kebun-jambu-mete/#sthash.pB346fYS.dpuf
0 comments:
Posting Komentar