Minggu, 21 Juli 2013

Selintas Kesan tentang Kupang

Oleh Gerson Poyk
KETIKA 
berkunjung ke Redaksi Pos Kupang,  redaksi bertanya tentang   kesan  penulis mengenai Kupang.  Kupang memang maju. Gedung-gedung batu bertambah dibanding dengan sepuluh tahun yang lalu. Kali ini tujuan penulis  adalah ke Taman Budaya  Kupang untuk menonton karya  teater penulis berjudul Ratu Balonita. Gedung tersebut  jauh  dari pemukiman bahkan dari kampus dan sekolah  sehingga  dalam dua malam pementasan penontonnya tidak penuh. Kendaraan yang datang kebanyakan sepeda motor.  Ya, Kupang memang kota sepeda motor tetapi sedan-sedan mengkilat tampak banyak juga  d isamping truk-truk. Penulis tidak melihat  simpang-siur  bus kota. Seandainya  Kupang  punya  trem listrik, maka jadilah ia adik dari San Fransisco  dengan  rumput  dan semak belukarnya di pinggiran kota dan  di kiri kanan jalan menuju bandara.

Salah satu gaya hidup Kupang  adalah cukup ramainya  orang-orang Kupang berduit memenuhi  restoran-restoran yang makanannya  sangat  lezat, terdiri dari ikan segala macam masakan, goreng dan bakar beserta daging  se'i serta sayur bunga papaya, kangkung, sawi dan kacang panjang.  Sedang   menikmati puisi kuliner  di Kupang,  telinga  disuguhi musik  sehingga   dengan demikian, maka terasa bahwa kota ini adalah kota yang makmur tanpa orang miskin. Angin  dari Australia membuat kota ini sejuk. Pemandangan  ke Teluk Kupang di waktu malam  tanpa bulan sangat  indah dengan ratusan lampu-lampu sampan  nelayan dan bagan-bagan. Teluk itu merupakan piring raksasa yang tiap hari memberi ikan ke  restoran, warung-warung  dan rumah tangga.

Sepintas lalu, tampak  tak ada orang miskin tetapi tiba-tiba muncul keponakan penulis bernama Pedro Mooy  dari  Desa Tuasene. Dulu, di Jakarta ia gemuk, sehat  tetapi  ia telah berubah menjadi kurus. Ia pulang bersana istri Jawa-nya dan dua anaknya ke Tuasene karena merasa  di Jakarta sampai tua pun tidak akan memiliki sawah beberapa  hektar  seperti   punya  bapaknya. 

Namun  mengapa kurus?  Mengapa matanya  cekung   menyimpan pathos?  Pathos adalah   suatu kualitas tertentu dalan diri seseorang  atau sesuatu yang membangkitkan kasihan, simpati, kelembutan dan duka.  Semua ini  timbul tatkala  mendengar ceritanya. Tuasene sekarang  menderita karena bendungan primitif  hancur oleh banjir  sehingga sawahnya puso.  Kini  beras di desa itu  sepuluh ribu lima ratus  rupiah per kilogram.  Satu kilogram  dimakan  delapan orang di rumah Pedro. Tentu tak kenyang  sehingga  harus  ditambah dengan makanan lain. Beruntung ada beberapa pohon lontar  yang bisa disadap. Sekali sadap Pedro menurunkan dua jarigen. Satu untuk  babi dan satu untuk  diminum pengganti beras bersama daun pepaya.  Pepaya pun sudah gundul sekarang  dan babi, begitu melihat jarigen  diturunkan, belum sampai di tanah telah berteriak-teriak minta  lekas  dikasi minum. Penduduk Tuasena tak mampu mengatasi banjir dan sawah mereka yang kering. Seandainya mereka bisa membuat kincir  air atau  dibantu oleh pengusaha yang menempatkan pompa (dengan pembayaran hasil panen), akan tertolonglah mereka. Namun pemimpin desa memble.  

Situasi lapangan kerja  tentulah tidak bisa  diketahui  dengan menemui satu kasus pengangguran.  Cucu penulis  (prp)  sarjana hukum, punya  suami juga  sarjana hukum.  Sang  suami bertanya,  "Opa, apakah Opa kenal pengarang Gerson Poyk, Opa kami? Penulis menjawab, "Tidak kenal."   Dia terdiam. Istrinya berkata, "Ini Opa Gerson Poyk!"   Dia  bangun mencium penulis.  Soalnya  dalam keluarga  selalu memanggil penulis dengan nama Be'a.  "Opa Be'a  datang! " Kemudian  dia minta ikut ke Jakarta. "Untuk apa?" tanya penulis. "Untuk cari kerja sebagai  satpam! Timbul kekhawatiran mengenai susahnya para sarjana yang ditelorkan  beberapa univeritas di Kupang.

Hari itu penulis menemui  kakak perempuan yang sudah berumur 88 tahun. Dia masih bercerita,  "Beta  sudah ke Sorga tapi kembali sebentar karena mau  omong-omong deng lu." Penulis hanya menarik nafas berhadapan dengan sang waktu (usia) dan ajal yang merupakan  absurditas mutlak dalam kehidupan manusia.

Kemudian penulis meluncur ke kuburan umum Kupang  bernama Maupoli  mencari kuburan ibunda tercinta tetapi  kompleks pekuburan itu  terlalu  semrawut.  Pagar-pagar besi terletak tak beraturan menghalangi jalan pencaharian. Kurang lebih tiga jam mencari tetapi tidak bertemu. Segalanya berubah dan timbul kecurigaan bahwa mungkin terjadi  penggalian tumpang tindih. Adalah kesalahan anak cucu di Kupang yang  melupakan kuburan  ibu dan nenek mereka. Selain itu, timbul pertanyaan  kapankah  bisa  ada suatu penglolaan pekuburan yang rapi dan teratur, sehingga mudah dicari  dan berkaitan dengan industri pariwisata  pekuburan?  Para perantau  yang sanak saudaranya ingin pulang di hari tertentu memang  ingin  melihat kuburan orang tua dan sanak saudaranya.  

Penulis ini  telah menjadi  `turis' yang gagal  menikmati   pariwisata pekuburan di siang itu. Untuk menenangkan hati penulis berkhayal: anggap saja jenazah ibunda telah dibakar dan debunya  disebarkan di tempat  ini.

Dengan  semacam kepasrahan ini penulis  dapat  dengan tenang kembali ke kegiatan  menonton dan berbicara tentang teater. Teater adalah  salah satu seni pertunjukan yang diandalkan oleh ekonomi kreatifnya Departemen Pariwisata.  Di tahun   1994, ketika penulis  jalan-jalan di Pasar Kapong Solor,  penulis bertemu degan  tiga pemuda  Australia. Mereka  ditegur oleh anak-anak. Penulis iseng-iseng menyapa,  "Hei, mengapa kalian begitu terkenal."  Dan mereka menjawab , "O, kami main band di Airnona!"   Lalu penulis mengajak mereka minum dan makan di  Hotel Susi. Penulis berkata,  bagaimana kalau ada kolaborasi antara  musisi Australia dan musisi Kupang,  berlatih di Kupang  lalu  keliling  Indonesia dan  dunia bawa  sesando?  Mereka setuju. Kembali ke Jakarta, penulis lupakan  sudah tetapi tiba-tiba datang surat,  "Pemerintah Queensland  telah setuju mengenai kolaborasi itu."  Wah, kalau seandainya seperti sekarang  ada lembaga berbadan hukum yang diketuai seorang profesor,  maka music venture itu sudah terlaksana jauh-jauh hari. 

Setelah pementasan  Ratu Balonita, penulis bermimpi bahwa  teater ini, setelah dirapikan lagi, bisa dipentaskan di Australia karena karya penulis menjadi  bacaan wajib di SMA Queensland  dan di Universitas Murdoch di Kota Perth ada seorang  wanita bernama Ramona Mitusis yang membawa sekarung foto kopi karya penulis dari Pusat Dokumentasi Sastra  HB Jassin untuk bahan tesisnya. Dia kini bergelar doktor.   Demikian pula, beberapa tahun yang  lalu penulis mendapat  honor atas terjemahan karya sastra  penulis dari  ANU (Australian National University). Semoga mereka  bisa menerima proposal  anak  Kupang yang seruduk sana seruduk sini dengan proposal yang bagus  setelah persiapan yag teliti dan matang.  Penulis pernah memperkenalkan pemimpin Teater Keliling kepada seorang Profesor Australia  dan   Profesor  itu merekomendasikan mereka untuk pentas di Perth dalam Indian Ocean Festival. Dari pengalaman ini penulis yakin  bahwa Australia adalah  tujuan mempertunjukan kesenian NTT.   

Barangkali  kalau  ada kemauan, Kupang bisa mendapat giliran menyelenggarakan Indian Ocean Festival.  Pementasan pertama  Ratu Balonita  di Kupang bisa   diterima walaupun mungkin karena  kekurangan dana  sehingga  menjadi agak bonsai walaupun memakai nama  "kolosal". Apa yang kolosal, komentar seorag penonton.   

Untuk diekspor keluar  negeri, perlu  diperbanyak tarian dan nyanyian daerah dan termasuk nyayian  perkabungan ketika  tiba  adegan lapar, dan  layar   memperlihatkan gambar  flora dan fauna seperti  Kelimutu, ombak Nembrala, Komodo, taman laut Pulau Kera dan pantai laut utara Ngada dan sebagainya. Tarian tiap daerah perlu "dipimpin"  oleh seorang komentator dalam bahasa  daerah, dengan  gaya perkasa, marah dan  mengalkun-alun.  Teks bahasa Inggris dari omongnnya  ditampilkan di latar.  Itulah tambahan yang  diperlukan. Supaya  tampak kolosal  perlu  diperbanyak balon, oleh pemain maupun untuk penonton  yang  akan  menerima komando  serentak meledakkan semua balon yang ada pada penonton, serentak  sebagai simbol meninggalkan  ekonomi balon yang menyebabkan Indonesia tak maju-maju setelah  60 tahun merdeka. Jepang,  yang hanya dalam  9 tahun membangun industri dapat mengalahkan Rusia. Akhir kata bagaimana kalau  diadakan  festival teater  seluruh NTT  di waktu-waktu yang akan datang?*

Ditulis Oleh : Berita14 // 07.45
Kategori:

0 comments: