Oleh Gerson Poyk
KETIKA berkunjung ke Redaksi Pos Kupang, redaksi bertanya tentang kesan penulis mengenai Kupang. Kupang memang maju. Gedung-gedung batu bertambah dibanding dengan sepuluh tahun yang lalu. Kali ini tujuan penulis adalah ke Taman Budaya Kupang untuk menonton karya teater penulis berjudul Ratu Balonita. Gedung tersebut jauh dari pemukiman bahkan dari kampus dan sekolah sehingga dalam dua malam pementasan penontonnya tidak penuh. Kendaraan yang datang kebanyakan sepeda motor. Ya, Kupang memang kota sepeda motor tetapi sedan-sedan mengkilat tampak banyak juga d isamping truk-truk. Penulis tidak melihat simpang-siur bus kota. Seandainya Kupang punya trem listrik, maka jadilah ia adik dari San Fransisco dengan rumput dan semak belukarnya di pinggiran kota dan di kiri kanan jalan menuju bandara.
Salah satu gaya hidup Kupang adalah cukup ramainya orang-orang Kupang berduit memenuhi restoran-restoran yang makanannya sangat lezat, terdiri dari ikan segala macam masakan, goreng dan bakar beserta daging se'i serta sayur bunga papaya, kangkung, sawi dan kacang panjang. Sedang menikmati puisi kuliner di Kupang, telinga disuguhi musik sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa kota ini adalah kota yang makmur tanpa orang miskin. Angin dari Australia membuat kota ini sejuk. Pemandangan ke Teluk Kupang di waktu malam tanpa bulan sangat indah dengan ratusan lampu-lampu sampan nelayan dan bagan-bagan. Teluk itu merupakan piring raksasa yang tiap hari memberi ikan ke restoran, warung-warung dan rumah tangga.
Sepintas lalu, tampak tak ada orang miskin tetapi tiba-tiba muncul keponakan penulis bernama Pedro Mooy dari Desa Tuasene. Dulu, di Jakarta ia gemuk, sehat tetapi ia telah berubah menjadi kurus. Ia pulang bersana istri Jawa-nya dan dua anaknya ke Tuasene karena merasa di Jakarta sampai tua pun tidak akan memiliki sawah beberapa hektar seperti punya bapaknya.
Namun mengapa kurus? Mengapa matanya cekung menyimpan pathos? Pathos adalah suatu kualitas tertentu dalan diri seseorang atau sesuatu yang membangkitkan kasihan, simpati, kelembutan dan duka. Semua ini timbul tatkala mendengar ceritanya. Tuasene sekarang menderita karena bendungan primitif hancur oleh banjir sehingga sawahnya puso. Kini beras di desa itu sepuluh ribu lima ratus rupiah per kilogram. Satu kilogram dimakan delapan orang di rumah Pedro. Tentu tak kenyang sehingga harus ditambah dengan makanan lain. Beruntung ada beberapa pohon lontar yang bisa disadap. Sekali sadap Pedro menurunkan dua jarigen. Satu untuk babi dan satu untuk diminum pengganti beras bersama daun pepaya. Pepaya pun sudah gundul sekarang dan babi, begitu melihat jarigen diturunkan, belum sampai di tanah telah berteriak-teriak minta lekas dikasi minum. Penduduk Tuasena tak mampu mengatasi banjir dan sawah mereka yang kering. Seandainya mereka bisa membuat kincir air atau dibantu oleh pengusaha yang menempatkan pompa (dengan pembayaran hasil panen), akan tertolonglah mereka. Namun pemimpin desa memble.
Situasi lapangan kerja tentulah tidak bisa diketahui dengan menemui satu kasus pengangguran. Cucu penulis (prp) sarjana hukum, punya suami juga sarjana hukum. Sang suami bertanya, "Opa, apakah Opa kenal pengarang Gerson Poyk, Opa kami? Penulis menjawab, "Tidak kenal." Dia terdiam. Istrinya berkata, "Ini Opa Gerson Poyk!" Dia bangun mencium penulis. Soalnya dalam keluarga selalu memanggil penulis dengan nama Be'a. "Opa Be'a datang! " Kemudian dia minta ikut ke Jakarta. "Untuk apa?" tanya penulis. "Untuk cari kerja sebagai satpam! Timbul kekhawatiran mengenai susahnya para sarjana yang ditelorkan beberapa univeritas di Kupang.
Hari itu penulis menemui kakak perempuan yang sudah berumur 88 tahun. Dia masih bercerita, "Beta sudah ke Sorga tapi kembali sebentar karena mau omong-omong deng lu." Penulis hanya menarik nafas berhadapan dengan sang waktu (usia) dan ajal yang merupakan absurditas mutlak dalam kehidupan manusia.
Kemudian penulis meluncur ke kuburan umum Kupang bernama Maupoli mencari kuburan ibunda tercinta tetapi kompleks pekuburan itu terlalu semrawut. Pagar-pagar besi terletak tak beraturan menghalangi jalan pencaharian. Kurang lebih tiga jam mencari tetapi tidak bertemu. Segalanya berubah dan timbul kecurigaan bahwa mungkin terjadi penggalian tumpang tindih. Adalah kesalahan anak cucu di Kupang yang melupakan kuburan ibu dan nenek mereka. Selain itu, timbul pertanyaan kapankah bisa ada suatu penglolaan pekuburan yang rapi dan teratur, sehingga mudah dicari dan berkaitan dengan industri pariwisata pekuburan? Para perantau yang sanak saudaranya ingin pulang di hari tertentu memang ingin melihat kuburan orang tua dan sanak saudaranya.
Penulis ini telah menjadi `turis' yang gagal menikmati pariwisata pekuburan di siang itu. Untuk menenangkan hati penulis berkhayal: anggap saja jenazah ibunda telah dibakar dan debunya disebarkan di tempat ini.
Dengan semacam kepasrahan ini penulis dapat dengan tenang kembali ke kegiatan menonton dan berbicara tentang teater. Teater adalah salah satu seni pertunjukan yang diandalkan oleh ekonomi kreatifnya Departemen Pariwisata. Di tahun 1994, ketika penulis jalan-jalan di Pasar Kapong Solor, penulis bertemu degan tiga pemuda Australia. Mereka ditegur oleh anak-anak. Penulis iseng-iseng menyapa, "Hei, mengapa kalian begitu terkenal." Dan mereka menjawab , "O, kami main band di Airnona!" Lalu penulis mengajak mereka minum dan makan di Hotel Susi. Penulis berkata, bagaimana kalau ada kolaborasi antara musisi Australia dan musisi Kupang, berlatih di Kupang lalu keliling Indonesia dan dunia bawa sesando? Mereka setuju. Kembali ke Jakarta, penulis lupakan sudah tetapi tiba-tiba datang surat, "Pemerintah Queensland telah setuju mengenai kolaborasi itu." Wah, kalau seandainya seperti sekarang ada lembaga berbadan hukum yang diketuai seorang profesor, maka music venture itu sudah terlaksana jauh-jauh hari.
Setelah pementasan Ratu Balonita, penulis bermimpi bahwa teater ini, setelah dirapikan lagi, bisa dipentaskan di Australia karena karya penulis menjadi bacaan wajib di SMA Queensland dan di Universitas Murdoch di Kota Perth ada seorang wanita bernama Ramona Mitusis yang membawa sekarung foto kopi karya penulis dari Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin untuk bahan tesisnya. Dia kini bergelar doktor. Demikian pula, beberapa tahun yang lalu penulis mendapat honor atas terjemahan karya sastra penulis dari ANU (Australian National University). Semoga mereka bisa menerima proposal anak Kupang yang seruduk sana seruduk sini dengan proposal yang bagus setelah persiapan yag teliti dan matang. Penulis pernah memperkenalkan pemimpin Teater Keliling kepada seorang Profesor Australia dan Profesor itu merekomendasikan mereka untuk pentas di Perth dalam Indian Ocean Festival. Dari pengalaman ini penulis yakin bahwa Australia adalah tujuan mempertunjukan kesenian NTT.
Barangkali kalau ada kemauan, Kupang bisa mendapat giliran menyelenggarakan Indian Ocean Festival. Pementasan pertama Ratu Balonita di Kupang bisa diterima walaupun mungkin karena kekurangan dana sehingga menjadi agak bonsai walaupun memakai nama "kolosal". Apa yang kolosal, komentar seorag penonton.
Untuk diekspor keluar negeri, perlu diperbanyak tarian dan nyanyian daerah dan termasuk nyayian perkabungan ketika tiba adegan lapar, dan layar memperlihatkan gambar flora dan fauna seperti Kelimutu, ombak Nembrala, Komodo, taman laut Pulau Kera dan pantai laut utara Ngada dan sebagainya. Tarian tiap daerah perlu "dipimpin" oleh seorang komentator dalam bahasa daerah, dengan gaya perkasa, marah dan mengalkun-alun. Teks bahasa Inggris dari omongnnya ditampilkan di latar. Itulah tambahan yang diperlukan. Supaya tampak kolosal perlu diperbanyak balon, oleh pemain maupun untuk penonton yang akan menerima komando serentak meledakkan semua balon yang ada pada penonton, serentak sebagai simbol meninggalkan ekonomi balon yang menyebabkan Indonesia tak maju-maju setelah 60 tahun merdeka. Jepang, yang hanya dalam 9 tahun membangun industri dapat mengalahkan Rusia. Akhir kata bagaimana kalau diadakan festival teater seluruh NTT di waktu-waktu yang akan datang?*
KETIKA berkunjung ke Redaksi Pos Kupang, redaksi bertanya tentang kesan penulis mengenai Kupang. Kupang memang maju. Gedung-gedung batu bertambah dibanding dengan sepuluh tahun yang lalu. Kali ini tujuan penulis adalah ke Taman Budaya Kupang untuk menonton karya teater penulis berjudul Ratu Balonita. Gedung tersebut jauh dari pemukiman bahkan dari kampus dan sekolah sehingga dalam dua malam pementasan penontonnya tidak penuh. Kendaraan yang datang kebanyakan sepeda motor. Ya, Kupang memang kota sepeda motor tetapi sedan-sedan mengkilat tampak banyak juga d isamping truk-truk. Penulis tidak melihat simpang-siur bus kota. Seandainya Kupang punya trem listrik, maka jadilah ia adik dari San Fransisco dengan rumput dan semak belukarnya di pinggiran kota dan di kiri kanan jalan menuju bandara.
Salah satu gaya hidup Kupang adalah cukup ramainya orang-orang Kupang berduit memenuhi restoran-restoran yang makanannya sangat lezat, terdiri dari ikan segala macam masakan, goreng dan bakar beserta daging se'i serta sayur bunga papaya, kangkung, sawi dan kacang panjang. Sedang menikmati puisi kuliner di Kupang, telinga disuguhi musik sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa kota ini adalah kota yang makmur tanpa orang miskin. Angin dari Australia membuat kota ini sejuk. Pemandangan ke Teluk Kupang di waktu malam tanpa bulan sangat indah dengan ratusan lampu-lampu sampan nelayan dan bagan-bagan. Teluk itu merupakan piring raksasa yang tiap hari memberi ikan ke restoran, warung-warung dan rumah tangga.
Sepintas lalu, tampak tak ada orang miskin tetapi tiba-tiba muncul keponakan penulis bernama Pedro Mooy dari Desa Tuasene. Dulu, di Jakarta ia gemuk, sehat tetapi ia telah berubah menjadi kurus. Ia pulang bersana istri Jawa-nya dan dua anaknya ke Tuasene karena merasa di Jakarta sampai tua pun tidak akan memiliki sawah beberapa hektar seperti punya bapaknya.
Namun mengapa kurus? Mengapa matanya cekung menyimpan pathos? Pathos adalah suatu kualitas tertentu dalan diri seseorang atau sesuatu yang membangkitkan kasihan, simpati, kelembutan dan duka. Semua ini timbul tatkala mendengar ceritanya. Tuasene sekarang menderita karena bendungan primitif hancur oleh banjir sehingga sawahnya puso. Kini beras di desa itu sepuluh ribu lima ratus rupiah per kilogram. Satu kilogram dimakan delapan orang di rumah Pedro. Tentu tak kenyang sehingga harus ditambah dengan makanan lain. Beruntung ada beberapa pohon lontar yang bisa disadap. Sekali sadap Pedro menurunkan dua jarigen. Satu untuk babi dan satu untuk diminum pengganti beras bersama daun pepaya. Pepaya pun sudah gundul sekarang dan babi, begitu melihat jarigen diturunkan, belum sampai di tanah telah berteriak-teriak minta lekas dikasi minum. Penduduk Tuasena tak mampu mengatasi banjir dan sawah mereka yang kering. Seandainya mereka bisa membuat kincir air atau dibantu oleh pengusaha yang menempatkan pompa (dengan pembayaran hasil panen), akan tertolonglah mereka. Namun pemimpin desa memble.
Situasi lapangan kerja tentulah tidak bisa diketahui dengan menemui satu kasus pengangguran. Cucu penulis (prp) sarjana hukum, punya suami juga sarjana hukum. Sang suami bertanya, "Opa, apakah Opa kenal pengarang Gerson Poyk, Opa kami? Penulis menjawab, "Tidak kenal." Dia terdiam. Istrinya berkata, "Ini Opa Gerson Poyk!" Dia bangun mencium penulis. Soalnya dalam keluarga selalu memanggil penulis dengan nama Be'a. "Opa Be'a datang! " Kemudian dia minta ikut ke Jakarta. "Untuk apa?" tanya penulis. "Untuk cari kerja sebagai satpam! Timbul kekhawatiran mengenai susahnya para sarjana yang ditelorkan beberapa univeritas di Kupang.
Hari itu penulis menemui kakak perempuan yang sudah berumur 88 tahun. Dia masih bercerita, "Beta sudah ke Sorga tapi kembali sebentar karena mau omong-omong deng lu." Penulis hanya menarik nafas berhadapan dengan sang waktu (usia) dan ajal yang merupakan absurditas mutlak dalam kehidupan manusia.
Kemudian penulis meluncur ke kuburan umum Kupang bernama Maupoli mencari kuburan ibunda tercinta tetapi kompleks pekuburan itu terlalu semrawut. Pagar-pagar besi terletak tak beraturan menghalangi jalan pencaharian. Kurang lebih tiga jam mencari tetapi tidak bertemu. Segalanya berubah dan timbul kecurigaan bahwa mungkin terjadi penggalian tumpang tindih. Adalah kesalahan anak cucu di Kupang yang melupakan kuburan ibu dan nenek mereka. Selain itu, timbul pertanyaan kapankah bisa ada suatu penglolaan pekuburan yang rapi dan teratur, sehingga mudah dicari dan berkaitan dengan industri pariwisata pekuburan? Para perantau yang sanak saudaranya ingin pulang di hari tertentu memang ingin melihat kuburan orang tua dan sanak saudaranya.
Penulis ini telah menjadi `turis' yang gagal menikmati pariwisata pekuburan di siang itu. Untuk menenangkan hati penulis berkhayal: anggap saja jenazah ibunda telah dibakar dan debunya disebarkan di tempat ini.
Dengan semacam kepasrahan ini penulis dapat dengan tenang kembali ke kegiatan menonton dan berbicara tentang teater. Teater adalah salah satu seni pertunjukan yang diandalkan oleh ekonomi kreatifnya Departemen Pariwisata. Di tahun 1994, ketika penulis jalan-jalan di Pasar Kapong Solor, penulis bertemu degan tiga pemuda Australia. Mereka ditegur oleh anak-anak. Penulis iseng-iseng menyapa, "Hei, mengapa kalian begitu terkenal." Dan mereka menjawab , "O, kami main band di Airnona!" Lalu penulis mengajak mereka minum dan makan di Hotel Susi. Penulis berkata, bagaimana kalau ada kolaborasi antara musisi Australia dan musisi Kupang, berlatih di Kupang lalu keliling Indonesia dan dunia bawa sesando? Mereka setuju. Kembali ke Jakarta, penulis lupakan sudah tetapi tiba-tiba datang surat, "Pemerintah Queensland telah setuju mengenai kolaborasi itu." Wah, kalau seandainya seperti sekarang ada lembaga berbadan hukum yang diketuai seorang profesor, maka music venture itu sudah terlaksana jauh-jauh hari.
Setelah pementasan Ratu Balonita, penulis bermimpi bahwa teater ini, setelah dirapikan lagi, bisa dipentaskan di Australia karena karya penulis menjadi bacaan wajib di SMA Queensland dan di Universitas Murdoch di Kota Perth ada seorang wanita bernama Ramona Mitusis yang membawa sekarung foto kopi karya penulis dari Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin untuk bahan tesisnya. Dia kini bergelar doktor. Demikian pula, beberapa tahun yang lalu penulis mendapat honor atas terjemahan karya sastra penulis dari ANU (Australian National University). Semoga mereka bisa menerima proposal anak Kupang yang seruduk sana seruduk sini dengan proposal yang bagus setelah persiapan yag teliti dan matang. Penulis pernah memperkenalkan pemimpin Teater Keliling kepada seorang Profesor Australia dan Profesor itu merekomendasikan mereka untuk pentas di Perth dalam Indian Ocean Festival. Dari pengalaman ini penulis yakin bahwa Australia adalah tujuan mempertunjukan kesenian NTT.
Barangkali kalau ada kemauan, Kupang bisa mendapat giliran menyelenggarakan Indian Ocean Festival. Pementasan pertama Ratu Balonita di Kupang bisa diterima walaupun mungkin karena kekurangan dana sehingga menjadi agak bonsai walaupun memakai nama "kolosal". Apa yang kolosal, komentar seorag penonton.
Untuk diekspor keluar negeri, perlu diperbanyak tarian dan nyanyian daerah dan termasuk nyayian perkabungan ketika tiba adegan lapar, dan layar memperlihatkan gambar flora dan fauna seperti Kelimutu, ombak Nembrala, Komodo, taman laut Pulau Kera dan pantai laut utara Ngada dan sebagainya. Tarian tiap daerah perlu "dipimpin" oleh seorang komentator dalam bahasa daerah, dengan gaya perkasa, marah dan mengalkun-alun. Teks bahasa Inggris dari omongnnya ditampilkan di latar. Itulah tambahan yang diperlukan. Supaya tampak kolosal perlu diperbanyak balon, oleh pemain maupun untuk penonton yang akan menerima komando serentak meledakkan semua balon yang ada pada penonton, serentak sebagai simbol meninggalkan ekonomi balon yang menyebabkan Indonesia tak maju-maju setelah 60 tahun merdeka. Jepang, yang hanya dalam 9 tahun membangun industri dapat mengalahkan Rusia. Akhir kata bagaimana kalau diadakan festival teater seluruh NTT di waktu-waktu yang akan datang?*
0 comments:
Posting Komentar